Pemerintah Indonesia berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE). Revisi ini didorong oleh perubahan kedua UU ITE pada Januari 2024. Kementerian Komunikasi dan Digital (Kominfo) saat ini tengah merancang peraturan turunannya melalui perubahan PP 71 Tahun 2019.
Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah implementasi Pasal 17 Ayat 2a UU ITE. Pasal ini mewajibkan penggunaan Tanda Tangan Elektronik (TTE) tersertifikasi untuk transaksi digital. Kewajiban ini memicu perdebatan karena berpotensi menambah beban biaya bagi pengguna layanan digital.
Dampak Wajib TTE Terhadap Masyarakat
Penggunaan TTE yang diwajibkan akan berdampak luas pada masyarakat. Biaya tambahan untuk sertifikasi dan penggunaan TTE dapat membebani pengguna, terutama bagi mereka yang sering melakukan transaksi online dalam skala kecil. Hal ini berpotensi menghambat inklusi digital dan aksesibilitas layanan digital bagi masyarakat luas, khususnya di kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Potensi peningkatan biaya ini juga perlu dikaji lebih dalam. Apakah peningkatan biaya sebanding dengan peningkatan keamanan yang didapatkan? Perlu diteliti lebih lanjut apakah model sertifikasi TTE yang ada saat ini sudah cukup efisien dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Analisis Hukum dan Pertimbangan Ekonomi
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Muhammad Amirulloh, menekankan pentingnya prinsip kepastian hukum, kemanfaatan ekonomi, dan netralitas teknologi dalam revisi PP PSTE. Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU ITE. Regulasi keamanan transaksi elektronik juga harus memperhatikan Pasal 4 UU ITE, yaitu tidak mengabaikan tujuan pengembangan ekonomi digital untuk kesejahteraan masyarakat.
Amirulloh juga menyoroti bahwa “andal” dan “aman” dalam Pasal 15 UU ITE tidak serta merta berarti wajib menggunakan TTE. Banyak platform digital telah menerapkan berbagai lapisan pengamanan untuk melindungi pengguna tanpa perlu mewajibkan TTE. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kembali perlunya kewajiban TTE ini.
Alternatif dan Rekomendasi
Sebagai alternatif, pemerintah dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif dan proporsional. Mungkin dapat dipertimbangkan skema tiered system, dimana kewajiban TTE diterapkan secara bertahap dan disesuaikan dengan jenis dan nilai transaksi. Transaksi dengan nilai kecil dan risiko rendah mungkin tidak perlu dibebani kewajiban TTE.
Selain itu, pemerintah dapat mendorong pengembangan dan adopsi teknologi TTE yang lebih terjangkau dan mudah digunakan. Subsidi atau insentif bagi penyedia layanan TTE juga bisa dipertimbangkan agar biaya penggunaan TTE dapat ditekan. Penting untuk memastikan bahwa regulasi mendukung, bukan menghambat, perkembangan ekonomi digital.
Kesimpulan
Revisi PP PSTE terkait kewajiban TTE memerlukan kajian yang komprehensif dan berimbang. Perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat, terutama dari sisi biaya dan aksesibilitas. Pemerintah harus memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan sejalan dengan prinsip kepastian hukum, kemanfaatan ekonomi, dan netralitas teknologi, serta mendukung pengembangan ekonomi digital yang inklusif dan berkelanjutan.
Penting bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk pakar teknologi, akademisi, dan pelaku usaha, dalam proses perumusan revisi PP PSTE. Dengan demikian, regulasi yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak dan mendorong perkembangan ekonomi digital yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia.