Ekbis  

DPR Kecam Kemendag: Review Makanan Negatif Ancam UMKM

Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, melontarkan kritik tajam terhadap Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait lambannya respon dalam menghadapi maraknya konten review negatif produk yang merugikan produsen dan konsumen. Kritik ini disampaikan dalam rapat dengan Menteri Perdagangan Budi Santoso di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (3/3/2025).

Mufti Anam menekankan bahwa fenomena ini menimbulkan keresahan di masyarakat dan mengancam keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Ketiadaan regulasi yang jelas mengenai konten review produk dinilai sebagai penyebab utama permasalahan ini. Dampak negatifnya sangat signifikan, terutama bagi pelaku usaha kecil yang rentan terhadap opini publik.

Ia menambahkan, tidak adanya regulasi yang jelas membuka peluang penyalahgunaan oleh influencer. Banyak influencer yang memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan pribadi, seperti melakukan pemerasan terhadap pelaku usaha. Salah satu contoh kasus yang disoroti adalah kasus influencer kuliner “Code Blue” yang diduga memeras pemilik usaha makanan hingga Rp 350 juta setelah memberikan review negatif.

Kasus Code Blue menjadi bukti nyata betapa krusialnya perlunya regulasi yang mengatur konten review produk. Peristiwa ini menunjukkan kelemahan pengawasan dan perlindungan bagi pelaku usaha dari praktik-praktik curang yang memanfaatkan platform digital. Kejadian ini juga memicu kekhawatiran akan potensi kerugian yang lebih besar di masa mendatang.

Dampak Negatif Konten Review Negatif Bagi UMKM

Dampak dari konten review negatif terhadap UMKM sangat signifikan. Satu ulasan negatif dari influencer yang memiliki banyak pengikut dapat merusak reputasi dan penjualan suatu produk secara drastis. Hal ini membuat UMKM kesulitan bersaing dan bahkan dapat mengancam keberlangsungan usahanya.

Banyak pelaku usaha kecil tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melawan kampanye negatif yang dilakukan oleh influencer. Mereka seringkali terpaksa menerima tuntutan finansial demi menghindari kerusakan citra yang lebih besar. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan dan menciptakan iklim usaha yang tidak sehat.

Selain itu, maraknya konten review negatif juga dapat mempengaruhi kepercayaan konsumen terhadap produk tertentu. Konsumen menjadi lebih ragu untuk membeli produk yang telah mendapatkan review negatif, meskipun review tersebut tidak sepenuhnya objektif atau bahkan tendensius.

Solusi dan Regulasi yang Diperlukan

Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan regulasi yang jelas dan tegas terkait konten review produk. Regulasi ini harus mampu melindungi baik produsen maupun konsumen dari dampak negatif konten review yang tidak bertanggung jawab. Regulasi tersebut perlu merumuskan pedoman etika dan standar penilaian yang objektif untuk konten review.

Selain regulasi, perlu juga ditingkatkan literasi digital bagi pelaku UMKM. Mereka perlu diberikan edukasi tentang cara menghadapi konten review negatif dan strategi untuk melindungi bisnis mereka dari dampak negatifnya. Pelatihan tentang manajemen reputasi online juga sangat penting.

Pemerintah juga perlu memperkuat pengawasan terhadap konten review yang berpotensi merugikan. Kerja sama antara pemerintah, platform digital, dan asosiasi pelaku usaha diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan adil. Peningkatan pengawasan ini harus didukung dengan mekanisme pelaporan dan sanksi yang efektif.

Testimoni dari Ci Mehong, seorang pengusaha kuliner, juga menguatkan seruan akan perlunya regulasi ini. Ia mengungkapkan betapa mudahnya satu ulasan negatif dari influencer dapat menghancurkan reputasi usaha kecilnya. Pengalamannya dengan review dari Tasyi Athasyia, yang menyinggung masalah ditemukannya benda asing dalam produknya (yang kemudian dibantah sebagai serpihan gosong), menunjukkan betapa rentannya usaha kecil terhadap hal ini.

Kesimpulan

Masalah konten review negatif yang merugikan pelaku usaha, khususnya UMKM, merupakan isu serius yang memerlukan penanganan segera. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret dengan membuat regulasi yang komprehensif, meningkatkan literasi digital UMKM, dan memperkuat pengawasan terhadap konten online. Hanya dengan upaya kolaboratif dari berbagai pihak, ekosistem bisnis digital yang sehat dan berkelanjutan dapat tercipta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *