Regulasi pajak kripto di Indonesia masih menyisakan sejumlah tantangan, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). CEO INDODAX, Oscar Darmawan, mengungkapkan hal ini dalam keterangan resminya pada Minggu (23/2/2025).
Pajak kripto di Indonesia pertama kali diterapkan pada 2017, setelah kripto dinyatakan sebagai komoditas legal. Sistemnya kala itu bersifat self-reporting, di mana wajib pajak melaporkan sendiri pendapatan kripto dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) progresif. Sistem ini berlaku hingga 2022.
Sejak 2022, pemerintah mengadopsi sistem pajak final untuk transaksi kripto di bursa berizin. Pajak yang diterapkan adalah PPh final 0,1% dan PPN 0,11%. Hal ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif pajak kripto terendah di dunia, jauh lebih rendah daripada Amerika Serikat (hingga 40%) atau Eropa (hingga 50%). Beberapa negara seperti Dubai bahkan membebaskan pajak penghasilan untuk transaksi kripto.
Sistem Pajak Final: Keunggulan dan Kekurangan
Oscar menjelaskan bahwa sistem pajak final, serupa dengan mekanisme di pasar saham, lebih kompetitif dibanding sistem pajak progresif berbasis keuntungan. “Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto,” tegasnya. Namun, sistem ini juga memiliki kekurangan.
Pajak final dikenakan meskipun trader mengalami kerugian, berbeda dengan capital gains tax yang hanya dikenakan saat ada keuntungan. Ini dinilai kurang ideal. Meskipun tarifnya rendah, potensi pendapatan negara bisa lebih besar jika sistemnya lebih efisien dan adil.
Perbaikan yang Diusulkan: Penghapusan PPN dan Klarifikasi Pajak Transaksi Luar Negeri
Oscar mengusulkan beberapa perbaikan. Pertama, penghapusan PPN. Menurutnya, karena kripto kini berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, PPN seharusnya dihapus, sama seperti produk keuangan lainnya. Penghapusan PPN akan membuat biaya transaksi lebih kompetitif dan menarik lebih banyak investor domestik.
Kedua, perlu adanya klarifikasi terkait pajak transaksi kripto di bursa luar negeri atau yang belum berizin OJK. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 mengatur PPh final 0,2% untuk transaksi di bursa luar negeri, dua kali lipat dari bursa berizin. Namun, implementasinya masih menimbulkan ketidakpastian.
Ketidakpastian Implementasi Pajak Transaksi Luar Negeri
Oscar menyoroti bahwa seharusnya bursa luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Namun, karena belum ada mekanisme pemungutan pajak oleh bursa luar negeri, trader harus melaporkan sendiri pajaknya. Kondisi ini menimbulkan inkonsistensi, karena beberapa wilayah masih menggunakan skema PPh progresif.
Perbedaan interpretasi antar kantor pajak pun muncul. Oleh karena itu, Oscar menyarankan trader yang bertransaksi di bursa luar negeri untuk berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak setempat. “Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak masing-masing, yang bisa diajak berdiskusi mengenai cara pembayaran pajak kripto yang sesuai regulasi,” tambahnya.
Implikasi dan Rekomendasi
Penerapan regulasi pajak kripto yang efektif dan efisien sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri kripto di Indonesia secara berkelanjutan. Regulasi yang jelas dan konsisten akan memberikan kepastian hukum bagi pelaku pasar dan meningkatkan kepercayaan investor.
Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang regulasi pajak kripto. Hal ini penting untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan mencegah praktik penghindaran pajak.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk berkolaborasi dengan bursa kripto internasional untuk menciptakan mekanisme pemungutan pajak yang lebih efektif dan efisien untuk transaksi kripto di bursa luar negeri.
Kesimpulannya, meskipun Indonesia telah menerapkan sistem pajak kripto yang relatif rendah, masih terdapat ruang untuk perbaikan agar sistem tersebut lebih adil, efisien, dan mendorong pertumbuhan industri kripto secara sehat dan berkelanjutan. Klarifikasi dan penyederhanaan regulasi, khususnya terkait PPN dan transaksi luar negeri, menjadi langkah krusial yang perlu segera diatasi.