Pada pertengahan Januari lalu, YouTuber dan streamer online Windah Basudara mengumumkan niatnya memainkan Love and Deepspace (LADs), game populer di kalangan gamer perempuan. Reaksi dari fanbase Windah, yang mayoritas laki-laki, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh maskulinitas dalam dunia gaming.
Para penggemar Windah, yang sering disebut “Bocil Kematian” karena tingkah jahilnya, melontarkan komentar-komentar toksik dan lelucon seksis yang menyasar para perempuan pemain LADs. Hal ini mengungkap sisi gelap dari komunitas gaming online, di mana budaya toksik dan perilaku tidak hormat masih merajalela.
LADs sendiri termasuk genre otome, game berbasis cerita romantis dengan tokoh utama perempuan dan target audiens perempuan. Genre ini sering dianggap sebagai ruang aman bagi perempuan untuk berimajinasi dan mencari hiburan. Namun, ironisnya, seringkali dilabeli sebagai pornografi atau game vulgar oleh sebagian gamer laki-laki.
Masalah Maskulinitas dalam Industri Gaming
Kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan penting: Bisakah perempuan menikmati dan mengembangkan industri gaming dengan aman dan tanpa rasa takut? Sayangnya, jawabannya masih jauh dari ideal.
Kasus besar pada tahun 2021, di mana California Department of Fair Employment and Housing menuntut Activision Blizzard karena diskriminasi dan pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan, menjadi bukti nyata masalah ini. Budaya “frat boy” yang ditandai dengan konsumsi alkohol berlebihan, komentar-komentar pelecehan, dan tindakan merendahkan perempuan, terjadi di tempat kerja.
Lebih jauh lagi, investigasi selama dua tahun menemukan upah yang lebih rendah dan kesempatan promosi yang lebih sedikit bagi pekerja perempuan. Bagaimana industri yang didominasi laki-laki dengan budaya kerja misoginis dapat mengembangkan game yang aman untuk perempuan? Pertanyaan ini patut direnungkan.
Pertumbuhan Gamer Perempuan dan Representasi yang Kurang Adil
Studi Global Gamer Study tahun 2024 menunjukkan bahwa gamer perempuan mencapai 45 persen dari total populasi gamer. Namun, industri gaming belum beradaptasi dengan pertumbuhan ini.
Pemilihan karakter game masih sering mengeksploitasi karakter perempuan. Ana María De la Torre-Sierra dalam studi di jurnal Sex & Culture (2024) menjelaskan bagaimana karakter perempuan seringkali mendapatkan peran sekunder, dibuat patuh, memiliki tubuh yang tidak realistis, dan terlibat dalam alur cerita yang dekat dengan kekerasan.
Game designer Selby Carleton dalam presentasi TED Talks tahun 2018 juga mengungkapkan bahwa penguatan karakter perempuan seringkali didasarkan pada seksualisasi. Contohnya adalah “bikini armor,” yang menampilkan karakter perempuan dengan pakaian yang sangat terbuka. Inisiatif seperti “repair her armor” muncul sebagai tanggapan atas hal ini, mendorong pengembang untuk menciptakan karakter tanpa melakukan seksualisasi berlebihan.
Akar Masalah: Maskulinitas dan Target Pasar
Mengapa maskulinitas masih kuat dalam industri game di era yang mendorong keseteraan? Salah satu faktornya adalah target pasar utama selama beberapa dekade: laki-laki muda. Iklan-iklan di berbagai media konsisten menampilkan laki-laki sebagai gamer utama.
Tema-tema maskulin seperti konflik, perang, dan kekerasan juga populer dalam game. Hal ini memperkuat citra dunia game yang maskulin. Upaya untuk mengubah citra ini seringkali mendapat perlawanan, terutama di media sosial.
Istilah “Social Justice Warrior” (SJW), sering digunakan sebagai ejekan untuk mereka yang menyuarakan isu-isu gender, rasisme, dan ketidakadilan dalam gaming, terkait erat dengan Gamergate, sebuah kampanye perundungan online pada tahun 2014-2015. Gamergate menargetkan perempuan di industri game dan menentang kebangkitan feminisme dalam dunia gaming.
Amanda C. Cote dalam buku Gaming Sexism (2020) berpendapat bahwa reaksi keras dari sebagian gamer laki-laki mencerminkan ketidaknyamanan mereka terhadap perubahan status quo. Ketakutan kehilangan posisi istimewa sebagai konsumen utama mendorong reaksi keras untuk mempertahankan dunia gaming yang “kecil dan eksklusif,” dengan seksisme dan misogini sebagai mekanismenya.
Kesimpulan
Perlu ada perubahan besar dalam industri gaming untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan aman bagi perempuan. Ini membutuhkan upaya kolektif dari pengembang game, publisher, komunitas gamer, dan individu untuk menantang norma-norma maskulin yang telah lama tertanam dan mendorong representasi yang lebih adil dan beragam.