Mencari Cinta di Jagat Raya: Perempuan Gamer & Ruang Aman Digital

Game interaktif Love and Deepspace (LADs) besutan developer asal Cina, Papergames, yang dirilis awal 2024, mendapatkan popularitas tinggi di kalangan gamer perempuan. Game simulasi kencan ini menghadirkan cerita romantis antara tokoh utama perempuan (gamer) dan karakter laki-laki fiktif. Kepopuleran LADs semakin menarik perhatian karena fitur uniknya.

Baru-baru ini, LADs menambahkan fitur pelacak menstruasi atau period tracker. Fitur ini memberikan pengingat kepada gamer tentang siklus menstruasinya melalui interaksi dengan karakter laki-laki dalam game. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman yang lebih personal dan menyeluruh bagi para pemain.

Namun, fitur ini justru menuai kontroversi. YouTuber dan online streamer Tectone menyindir LADs di unggahan X (sebelumnya Twitter), dengan mengatakan game tersebut dirancang untuk memupuk hubungan parasosial yang kuat antara gamer perempuan dan karakter fiktif.

Tectone menuding LADs membuat perempuan “halu” atau kehilangan kontak dengan realitas. Pernyataan ini memicu perdebatan: apakah perempuan memiliki hak atas ruang “pelarian” yang aman dan menghibur di dunia game? Apakah gamer laki-laki dirugikan dengan kebahagiaan gamer perempuan dalam berinteraksi dengan karakter fiktif?

Kontroversi dan Reaksi Gamer Perempuan

Perdebatan semakin memanas ketika pengisi suara anime dan video game Jepang, Zach Aguilar, mengumumkan rencananya untuk melakukan streaming LADs. Banyak gamer perempuan meminta Aguilar membatalkan rencana tersebut.

Mereka mengungkapkan rasa frustrasi karena telah lama menerima perlakuan misoginis dan perundungan dari gamer laki-laki. “Tidak, terima kasih. Kamu hanya akan memperburuk situasi karena laki-laki tidak tahu harus bersikap seperti apa jika menyangkut otome game dan perempuan secara keseluruhan,” tulis salah satu akun.

Akun lain menambahkan, “Tolong, jangan. Kamu tidak salah, tapi ini tentang laki-laki kekanak-kanakan dan kasar yang telah merusak ruang aman perempuan. Kami sudah diserang dan diejek karena period tracker oleh mereka karena tampaknya perempuan dilarang memiliki apapun (yang menyenangkan).” Reaksi ini menunjukkan betapa pentingnya ruang aman bagi gamer perempuan.

Sejarah Perundungan Terhadap Gamer Perempuan

Sikap defensif gamer perempuan terhadap gamer laki-laki yang memasuki ruang mereka bukan tanpa alasan. Sejak lama, perempuan di industri game menghadapi perundungan dan perlakuan tidak adil. Kasus Zoe Quinn pada tahun 2013 menjadi salah satu contoh nyata.

Zoe Quinn, seorang game developer perempuan asal AS, merilis game interaktif Depression Quest. Game ini kemudian mendapat kritikan dan bahkan serangan pribadi, termasuk doxing dan ancaman pembunuhan, yang dipicu oleh mantan pacarnya yang menuduh Zoe menjalin hubungan dengan jurnalis yang memberikan ulasan positif terhadap game-nya.

Insiden ini memicu GamerGate, sebuah kampanye perundungan daring yang menargetkan perempuan di industri game. GamerGate, menurut Britannica, digerakkan oleh gamer laki-laki kulit putih berhaluan politik sayap kanan untuk melawan kebangkitan perempuan dan feminisme di dunia game. FBI bahkan turut menyelidiki kasus ini.

Zoe Quinn bukan satu-satunya korban. Anita Sarkeesian, yang mengkritik game populer Assassin’s Creed atas seksualisasi tubuh perempuan, juga mengalami serangan serupa. “Seksualisasi tubuh perempuan [dalam game] acap kali berperan ganda: sebagai alat permainan seksual dan korban kekerasan laki-laki,” kritik Sarkeesian.

Sarkeesian menerima banyak serangan dan ancaman hingga mengakui ketakutannya untuk keluar rumah. Banyak gamer perempuan lain juga memilih diam karena takut menjadi target selanjutnya. Peristiwa ini menunjukkan betapa toksiknya lingkungan game bagi perempuan.

Upaya Menciptakan Ruang Aman dan Tantangannya

Di AS, upaya menciptakan ruang aman bagi gamer perempuan sudah dilakukan sejak tahun 1990-an oleh developer dan aktivis feminis. Mereka menciptakan game yang relevan dengan pengalaman sehari-hari perempuan. Namun, usaha ini juga diiringi tantangan.

Membedakan “girl games” dengan game pada umumnya berpotensi memperlebar kesenjangan gender dan memperkuat dominasi maskulinitas dalam industri game. Terdapat kekhawatiran bahwa pemisahan ini justru menguatkan stereotip dan mengeliminasi kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam genre game yang lebih luas.

Munculnya organisasi seperti Femme Gaming pada tahun 2023 memberikan secercah harapan. Femme Gaming berkomitmen untuk menciptakan ruang aman bagi semua orang, tanpa memandang gender, untuk berpartisipasi dalam dunia game dan esports. “Kami bertujuan menciptakan ruang yang aman bagi semua orang, apa pun gendernya, agar dapat merasa aman, mendapatlan dukungan, dan berdaya dalam menunjukkan bakat mereka di dunia game dan esports,” demikian motto Femme Gaming.

Namun, apakah upaya seperti ini cukup untuk mengusir gamer misoginis? Protes dan kritik mungkin tidak serta merta memperbaiki ekosistem toksik yang sudah mengakar. Meski demikian, upaya ini merupakan langkah awal yang penting untuk mengkampanyekan kesetaraan dan keamanan bagi semua orang dalam industri game.

Kesimpulannya, perdebatan seputar fitur period tracker di LADs dan reaksi negatif terhadap Zach Aguilar membuka kembali diskusi penting mengenai kesetaraan gender dalam industri game. Upaya menciptakan ruang aman adalah langkah positif, tetapi butuh perjuangan panjang untuk mengatasi masalah misogini dan perilaku toksik yang sudah mengakar kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *