Istri mantan Kapolres Ngada, ADP, memberikan kesaksian dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) terkait kasus pencabulan anak di bawah umur yang dilakukan suaminya, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja. Sidang yang berlangsung di Gedung TNCC Polri, Jakarta Selatan pada Senin (17/3/2025) ini turut menghadirkan saksi-saksi ahli lainnya.
Selain ADP yang hadir langsung, sidang juga menghadirkan ahli psikologi dan ahli laboratorium. Kehadiran saksi-saksi ini sangat penting untuk mengungkap seluruh fakta dalam kasus tersebut. Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa terdapat tiga saksi yang hadir secara fisik dan lima saksi lainnya yang mengikuti sidang secara virtual.
“Yang hadir ada tiga secara fisik langsung di tempat, dan ada 5 orang saksi yang hadir virtual karena situasi dan kondisinya, dan (faktor) geografis,” ungkap Brigjen Trunoyudo. Penjelasan ini memberikan gambaran mengenai kendala geografis dan situasi yang menyebabkan beberapa saksi hanya bisa hadir secara virtual.
Trunoyudo merinci para saksi yang hadir, “Yang pertama hadir di sini ahli psikolog, ahli laboratorium terkait dengan tes urine, kemudian Saudari ADP selaku istri terduga pelanggar.” Kehadiran ahli psikologi dan laboratorium forensik menunjukkan keseriusan KKEP dalam mengungkap kasus ini secara komprehensif.
Lima saksi yang hadir secara virtual terdiri dari ahli kesehatan jiwa (inisial HM), AKP FDK, SHDM, ABA, dan RM. Kehadiran saksi-saksi dari berbagai latar belakang ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap dan detail mengenai kasus tersebut. Terdapat dua perempuan di antara saksi virtual tersebut.
Sidang KKEP dan Sanksi Terhadap AKBP Fajar
Sidang KKEP terhadap AKBP Fajar telah selesai dan memutuskan yang bersangkutan bersalah atas kasus asusila terhadap anak di bawah umur. Putusan sidang ini memberikan sanksi etika berupa perilaku melanggar sebagai perbuatan tercela.
“Memutuskan sidang KKEP dengan sanksi etika yaitu perilaku melanggar sebagai perbuatan tercela,” tegas Brigjen Trunoyudo. Sanksi etika ini menunjukkan keseriusan Polri dalam menangani kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh anggotanya.
AKBP Fajar dijatuhi sanksi pemecatan tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. Namun, ia mengajukan banding atas putusan tersebut. Hal ini menunjukkan upaya AKBP Fajar untuk membela diri atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
“Diputuskan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. Dengan putusan tersebut, kami perlu sampaikan informasi bahwasanya atas putusan tersebut pelanggar menyatakan banding,” jelas Trunoyudo. Proses banding ini akan menjadi tahapan selanjutnya dalam kasus ini.
Implikasi Kasus Terhadap Citra Polri
Kasus ini memiliki implikasi yang luas terhadap citra Polri. Tindakan tegas yang diambil KKEP menunjukkan komitmen Polri dalam memberantas kejahatan seksual, khususnya yang dilakukan oleh anggota internalnya sendiri. Namun, kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan dan pelatihan yang lebih ketat bagi anggota Polri agar kasus serupa tidak terulang di masa mendatang.
Transparansi proses hukum dan penyampaian informasi publik yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dalam kasus ini patut diapresiasi. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap Polri dan menjamin penegakan hukum yang adil dan transparan.
Kehadiran istri terduga pelaku sebagai saksi juga menunjukkan upaya untuk mengumpulkan informasi selengkap mungkin. Peran keluarga dalam memberikan kesaksian dalam kasus-kasus seperti ini perlu mendapatkan perhatian lebih. Namun demikian, penting untuk memastikan bahwa hak-hak saksi, termasuk saksi keluarga, tetap terlindungi.
Kesimpulannya, kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan profesionalisme dalam tubuh Polri. Proses hukum yang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan memberikan pelajaran berharga bagi seluruh anggota Polri.