Istana Tanggapi Teror Kepala Babi Tempo: Saran Santap Saja

Jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, menjadi korban teror pada Rabu, 19 Maret 2025. Ia menerima kiriman kepala babi dalam sebuah kotak kardus berlapis styrofoam. Kejadian ini memicu reaksi dan pertanyaan dari sejumlah jurnalis, termasuk kepada Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi.

Menanggapi insiden tersebut, Hasan Nasbi memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan. “Sudah, dimasak saja,” ujarnya singkat di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Jumat, 21 Maret 2025. Pernyataan ini langsung memicu kontroversi dan beragam interpretasi.

1. Reaksi Istana: Bukan Teror Pembunuhan?

Hasan Nasbi menyatakan bahwa kejadian ini bukan ancaman pembunuhan. Ia merujuk pada unggahan Fransisca di media sosial yang, menurutnya, menunjukkan ia tidak merasa terancam. “Gak lah (bukan ancaman pembunuhan), saya lihat dari media sosialnya Francisca yang wartawan Tempo itu, dia justru minta dikirimin daging babi,” kata dia.

Menurutnya, respons Fransisca yang cenderung bercanda menunjukkan ia tidak merasa terancam. “Ya sama artinya dia gak terancam kan, buktinya dia bisa bercanda. Kirimin daging babi,” ucapnya.

Pernyataan ini menuai kritik karena dianggap meremehkan tindakan teror yang diterima jurnalis Tempo. Banyak yang menilai bahwa merendahkan peristiwa tersebut tidak pantas dan tidak menunjukkan empati terhadap korban teror.

2. Perspektif Istana: Masalah Internal Tempo?

Hasan Nasbi lebih lanjut menyatakan bahwa masalah ini merupakan urusan internal Tempo. Ia mempertanyakan apakah tindakan tersebut benar-benar teror atau hanya candaan. “Ini kan problem mereka dengan entah siapa, entah siapa yang ngirim. Buat saya, gak bisa kita tanggapi apa-apa. Ini problem mereka, entah dengan siapa, siapa yang ngirim. Apakah itu beneran seperti itu? Atau cuma jokes, karena saya lihat juga mereka menanggapinya dengan jokes. Jadi menurut saya gak usah dibesarkan,” ujarnya.

Sikap Istana yang cenderung menepis peristiwa ini sebagai masalah internal Tempo menuai kecaman. Banyak pihak yang menilai pemerintah seharusnya memberikan perhatian serius terhadap kasus ini sebagai bentuk perlindungan terhadap kebebasan pers.

3. Komitmen Istana terhadap Kebebasan Pers

Meskipun dianggap meremehkan insiden teror, Hasan Nasbi menegaskan komitmen Istana terhadap kebebasan pers. Ia menyatakan tidak ada larangan dalam membuat berita atau melakukan wawancara. “Ada yang di-stop buat bikin berita dan wawancara? Gak ada. Itu artinya kebebasan pers kita bagus. Ada yang takut nggak sekarang bikin berita? Ada yang dihalang-halangi gak untuk liputan di Istana? Kan gak,” ucapnya.

Ia melanjutkan, “Itu artinya gak ada kebebasan press yang dikekang. Kaya misalnya Tempo masih boleh menulis berita gak? Boleh kan? Masih boleh siaran bocor alus gak? Tetap boleh kan? Itu artinya pemerintah gak ikut campur sama sekali, gak ganggu sama sekali.” Namun, pernyataan ini tetap menimbulkan pertanyaan, bagaimana pemerintah memastikan kebebasan pers terlindungi dari tindakan intimidasi seperti yang dialami Tempo.

Kasus teror terhadap jurnalis Tempo ini menimbulkan kekhawatiran atas potensi ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Pernyataan Istana yang dinilai minim empati dan cenderung mengabaikan seriusnya ancaman tersebut memicu kecemasan lebih lanjut tentang perlindungan bagi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Reaksi publik terhadap kasus ini beragam. Banyak yang mengecam tindakan teror dan meminta aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas kasus tersebut. Di sisi lain, pernyataan Istana yang dianggap mengatakan “masak saja” kepala babi tersebut menunjukkan minimnya keseriusan pemerintah dalam menanggapi ancaman terhadap kebebasan pers. Peristiwa ini menjadi sorotan penting terkait perlindungan terhadap jurnalis dan penegakan kebebasan pers di Indonesia.

Exit mobile version