Krisis Suriah: 16,5 Juta Jiwa Membutuhkan Bantuan Kemanusiaan Segera

Krisis kemanusiaan di Suriah masih menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Suriah, Adam Abdelmoula, menyatakan 16,5 juta orang membutuhkan bantuan mendesak. Meskipun ada harapan setelah penggulingan rezim Assad pada Desember 2024, situasi justru memburuk. “Meskipun ada harapan menyusul penggulingan rezim (Bashar al) Assad pada Desember lalu, situasi terus memburuk,” ujarnya pada 20 Maret 2025.

Ahmed al-Sharaa, pemimpin pasukan anti-rezim yang sebelumnya menggulingkan Assad, dinyatakan sebagai presiden transisi pada akhir Januari 2025. Assad, yang memimpin Suriah hampir 25 tahun, melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember 2024, mengakhiri kekuasaan rezim Partai Baath yang berlangsung sejak 1963.

1. Situasi Pengungsi dan Kembalinya Warga Suriah

Sekitar 1,2 juta orang telah kembali ke Suriah sejak Desember 2024, termasuk 885 ribu pengungsi internal (IDP) dan 302 ribu pengungsi lainnya. UNHCR memperkirakan hingga 3,5 juta pengungsi dan IDP akan kembali tahun ini. Namun, kepulangan terhambat oleh kurangnya layanan dasar, risiko keamanan, dan masalah dokumentasi hukum.

Pembekuan dana kemanusiaan pada Januari 2025 berdampak buruk pada operasi di Suriah timur laut, terutama di kamp-kamp IDP. Permusuhan yang berlanjut di wilayah utara, selatan, dan pesisir menyebabkan ribuan orang mengungsi dan mempersulit penyaluran bantuan. Eskalasi di wilayah pesisir mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, termasuk fasilitas kesehatan. PBB menyerukan deeskalasi dan akses bantuan tanpa hambatan.

2. Penolakan Pemerintahan Baru oleh Militan Pro-Assad

Pemerintah Suriah yang baru berupaya menyelesaikan status mantan anggota rezim di militer dan pasukan keamanan dengan syarat mereka menyerahkan senjata. Puluhan ribu orang menerima inisiatif ini, tetapi beberapa kelompok bersenjata, sisa-sisa rezim terutama di wilayah pesisir, menolaknya. Kelompok-kelompok ini melarikan diri ke daerah pegunungan, memicu ketegangan dan serangan sporadis terhadap pasukan pemerintah.

3. Serangan Israel ke Suriah

Israel terus melakukan serangan udara ke Suriah, termasuk serangan baru-baru ini ke aset militer strategis di Suriah tengah pada 21 Maret 2025. Militer Israel menyatakan menargetkan “kemampuan militer strategis” di Palmyra dan pangkalan udara T-4, tanpa memberikan detail lebih lanjut. Serangan-serangan ini mengakibatkan korban sipil dan kerusakan infrastruktur.

Sejak 1967, Israel menduduki sebagian besar Dataran Tinggi Golan. Setelah runtuhnya rezim Assad, Israel mengambil alih kendali zona penyangga Suriah dan membatalkan perjanjian pelepasan 1974. Serangan-serangan Israel yang berulang ini memperumit upaya rekonstruksi Suriah dan menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas regional.

Situasi di Suriah tetap kompleks dan rawan. Upaya rekonstruksi dan pemulihan memerlukan bantuan internasional yang signifikan, akses kemanusiaan yang tak terhambat, serta penghentian konflik dan agresi. Penting bagi negara-negara internasional untuk memberikan dukungan yang lebih substansial dan mendesak untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang parah dan membantu Suriah membangun kembali negaranya.

Exit mobile version