Pemerintahan Donald Trump secara mengejutkan mencabut status legal lebih dari 530.000 migran dari Kuba, Haiti, Nikaragua, dan Venezuela. Keputusan kontroversial ini berlaku efektif 24 April 2025, memberikan para migran waktu 30 hari untuk meninggalkan Amerika Serikat atau menghadapi deportasi paksa.
Pengumuman ini disampaikan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS) pada Jumat, 21 Maret 2025. Para migran yang terkena dampak ini sebelumnya masuk ke AS melalui program izin tinggal sementara (parole) era Joe Biden yang dikenal sebagai CHNV.
“Status parole bersifat sementara, dan parole semata bukan dasar untuk mendapatkan status imigrasi,” tegas DHS, seperti dikutip oleh The Guardian. Pernyataan ini menjadi landasan utama keputusan pencabutan status tersebut.
1. Program CHNV: Gagasan Biden, Realita Trump
Program CHNV diluncurkan oleh pemerintahan Biden pada Oktober 2022, awalnya hanya untuk warga Venezuela, kemudian diperluas ke tiga negara lainnya pada tahun 2023. Migran dari keempat negara tersebut dapat masuk AS secara legal dengan syarat memiliki sponsor finansial dari warga negara Amerika.
Sekitar 213.000 warga Haiti, 120.700 warga Venezuela, 110.900 warga Kuba, dan lebih dari 93.000 warga Nikaragua telah masuk ke AS melalui program ini, menurut laporan BBC. Biden bermaksud mengurangi penyeberangan ilegal di perbatasan selatan AS.
Penerima manfaat program ini mendapatkan izin kerja selama dua tahun. Namun, program tersebut sempat ditangguhkan pada Juli 2024 setelah ditemukannya kecurangan dalam aplikasi, termasuk penggunaan nomor jaminan sosial palsu dan alamat yang sama untuk ribuan pengajuan.
Layanan Kewarganegaraan dan Imigrasi AS menemukan sekitar 100 alamat tercantum dalam lebih dari 19.000 formulir, dan banyak pengajuan berasal dari alamat IP yang sama. Ini menjadi salah satu alasan yang digunakan Trump untuk membenarkan pencabutan status legal.
2. Alasan Pencabutan: Keamanan Nasional dan Kebijakan Imigrasi
Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, menandatangani pencabutan perlindungan hukum para migran CHNV. Noem menyatakan tidak ada alasan kemanusiaan yang membenarkan mereka untuk tetap tinggal di AS melalui program tersebut. Alasan ini sangat kontroversial dan mendapat banyak kritik.
DHS menyatakan program Biden telah mengizinkan masuknya migran tanpa pemeriksaan ketat dan merugikan pekerja lokal. Juru bicara DHS juga menuduh pemerintahan sebelumnya telah “berbohong kepada Amerika” dan menyalahkan pemerintahan Biden atas kekacauan yang ditimbulkan oleh program tersebut.
Kebijakan ini sejalan dengan janji kampanye Trump untuk memperketat kebijakan imigrasi. Di awal masa jabatan keduanya, Trump telah mengakhiri berbagai jalur legal bagi imigran untuk masuk dan menetap di AS. “Menghentikan program CHNV berarti kembali pada kebijakan yang masuk akal, meningkatkan keamanan publik, dan mengutamakan Amerika,” kata Tricia McLaughlin, juru bicara DHS, seperti yang dilansir CBC.
3. Deportasi dan Tantangan Hukum
DHS akan menangkap dan mendeportasi individu yang tidak meninggalkan AS dalam 30 hari. Pemerintah mendorong para migran untuk mendaftar deportasi mandiri melalui aplikasi CBP Home. Prioritas penangkapan diberikan kepada migran yang gagal mengajukan manfaat imigrasi lain.
DHS mengklaim memiliki wewenang untuk menangkap migran bahkan sebelum masa tenggang 30 hari berakhir. Keputusan ini telah mendapat tantangan hukum di pengadilan federal. Sejumlah warga Amerika dan imigran menggugat pemerintahan Trump pada akhir Februari 2025 atas penghentian program tersebut.
Karen Tumlin, pendiri Justice Action Center yang mengajukan gugatan, mengkritik kebijakan tersebut sebagai tindakan yang akan “menyebabkan kekacauan dan kepedihan yang tidak perlu,” seperti dikutip New York Post. Pemerintah AS tetap membuka peluang pertimbangan khusus kasus per kasus, dan berencana menerapkan kebijakan serupa terhadap pengungsi Ukraina.
Keputusan Trump ini menimbulkan berbagai reaksi, dari kecaman atas dampak kemanusiaannya hingga dukungan atas langkah yang dianggap memperketat keamanan perbatasan. Dampak jangka panjang dari kebijakan ini terhadap migran dan hubungan internasional AS masih belum dapat dipastikan.