Pasukan Sudan Rebut Kembali Istana Kepresidenan dari RSF

Tentara Sudan berhasil merebut kembali istana kepresidenan di Khartoum dari pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada Jumat, 21 Maret 2025. Kemenangan ini merupakan pencapaian simbolis terbesar militer Sudan sejak melancarkan serangan balasan terhadap RSF pada September 2024.

Meskipun RSF masih menguasai beberapa wilayah di selatan Khartoum, mereka telah kehilangan sebagian besar wilayah ibukota sejak perang saudara meletus April 2023. Konflik ini telah memicu krisis kemanusiaan terbesar di dunia. “Hari ini bendera dikibarkan, istana direbut kembali dan perjalanan berlanjut hingga kemenangan total,” ungkap Menteri Informasi Sudan, Khalid al-Aleisir.

1. Pertempuran Sengit dan Serangan Balasan RSF

Kemenangan militer Sudan diraih setelah pertempuran sengit di pusat kota Khartoum. Video di media sosial menunjukkan perayaan tentara di kompleks istana yang sebagian rusak. Mereka membawa senapan serbu dan peluncur granat.

Juru bicara tentara Sudan, Nabil Abdallah, mengkonfirmasi pengambilalihan istana dan gedung kementerian di televisi negara. Pasukan pemerintah mengklaim menghancurkan pasukan musuh dan menyita banyak peralatan dan senjata RSF.

Namun, RSF melancarkan serangan balasan dengan drone mematikan ke kompleks istana, menewaskan tiga jurnalis. RSF mengklaim operasi kilat mereka menewaskan lebih dari 89 personel tentara pemerintah dan menyatakan pertempuran untuk Istana Republik belum berakhir.

2. Kekhawatiran Perpecahan Sudan seperti Libya

Perebutan istana presiden meningkatkan kekhawatiran akan perpecahan Sudan. RSF mendukung pemerintahan tandingan dan mengendalikan empat dari lima wilayah di Darfur, wilayah seluas Prancis yang menjadi basis kekuatan utama mereka.

RSF baru-baru ini merebut kota strategis al-Maliha di Darfur Utara, wilayah terakhir yang masih dikuasai militer Sudan. Namun, mereka kesulitan merebut el-Fasher, ibu kota Darfur Utara.

Profesor Sharath Srinivasan dari Universitas Cambridge memprediksi Sudan akan terpecah seperti Libya. “Perpecahan geografis semakin kuat, kecuali di el-Fasher. RSF harus mengamankan el-Fasher untuk mengklaim seluruh Sudan, namun itu tidak pasti,” katanya kepada Al Jazeera.

Tentara pemerintah menguasai hampir seluruh negara bagian Khartoum, sebagian besar Sudan timur dan utara. RSF terkonsentrasi di wilayah barat, terutama Darfur, di mana mereka dituduh melakukan genosida oleh mantan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken.

3. Peluang Perdamaian yang Semakin Suram

Tentara Sudan menolak pembicaraan damai dengan RSF dan bertekad merebut kembali seluruh wilayah Sudan. Kedua belah pihak berjanji melanjutkan peperangan, meningkatkan kekhawatiran akan intensifikasi pertempuran di barat, terutama di Kordofan dan Darfur, dan di Khartoum.

Konflik Sudan telah memicu krisis kemanusiaan terburuk di dunia. Puluhan ribu tewas, ribuan hilang, dan jutaan menderita kelaparan. PBB melaporkan 12 juta orang mengungsi dan menghadapi ancaman kelaparan.

Negara-negara seperti Chad, Mesir, Turki, Iran, Libya, Qatar, dan Rusia memiliki kepentingan dalam konflik ini. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dituduh memberikan dukungan finansial dan militer, meskipun mereka membantahnya.

Sudan sempat menuju transisi demokrasi setelah pemberontakan menjatuhkan Presiden Omar al-Bashir pada 2019, namun proses ini terhenti akibat kudeta militer pada 2021.

Kesimpulan: Perebutan istana kepresidenan menandai babak baru dalam konflik Sudan, namun pertempuran jauh dari selesai dan ancaman perpecahan negara serta krisis kemanusiaan yang lebih besar masih membayangi.

Exit mobile version