Kota Bekasi, Jawa Barat, terus bergulat dengan ancaman banjir yang semakin serius. Pakar tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menjelaskan bahwa perubahan tata ruang kota, khususnya konversi lahan sawah menjadi perumahan, menjadi faktor utama penyebabnya. Aliran sungai yang dulunya mampu menampung air dari areal persawahan kini kewalahan menghadapi volume air yang meningkat drastis.
Bekasi, yang dulu dikenal sebagai lumbung padi, memiliki sistem irigasi yang dirancang untuk lahan pertanian. Sistem ini terbukti tidak memadai untuk menghadapi dampak urbanisasi yang masif. Pembangunan perumahan yang pesat, terutama di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Cileungsi dan Cikeas, semakin memperparah masalah. Kedua sungai ini bermuara di Kali Bekasi, yang membelah jantung kota.
Perubahan signifikan terjadi sejak tahun 1970-an, ketika Perumnas mulai membangun perumahan skala besar di Bekasi. Kedekatan dengan Jakarta turut mendorong pesatnya perkembangan properti, namun tanpa perencanaan tata air yang matang. Akibatnya, pembangunan di dekat DAS justru mempersempit aliran sungai dan meningkatkan risiko banjir.
Dampak Konversi Lahan dan Urbanisasi
Konversi lahan sawah menjadi perumahan bukan hanya mengurangi kapasitas resapan air, tetapi juga meningkatkan limpasan permukaan. Air hujan yang seharusnya terserap oleh tanah kini mengalir deras ke sungai, mengakibatkan peningkatan debit air secara signifikan, terutama saat musim hujan. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya infrastruktur penunjang seperti saluran drainase yang memadai.
Perumahan yang dibangun di dekat DAS juga kerap kali mengabaikan aturan tata ruang dan jalur hijau. Pembangunan yang tidak terkendali ini mengakibatkan penyempitan sungai, sehingga kapasitas tampung air berkurang. Akibatnya, sungai mudah meluap saat curah hujan tinggi.
Solusi Jangka Panjang: Penataan Sungai dan Tata Ruang Terintegrasi
Yayat Supriatna menekankan pentingnya penataan ulang sungai Cileungsi dan Cikeas untuk mengurangi risiko banjir di Bekasi. Normalisasi sungai, termasuk pelebaran dan pengerukan, sangat krusial. Selain itu, perlu juga dibangun sistem drainase terintegrasi yang mampu menampung dan mengalirkan air hujan secara efektif.
Tidak cukup hanya dengan penataan sungai, perencanaan tata ruang terintegrasi juga menjadi kunci. Pembangunan di masa mendatang harus mempertimbangkan aspek lingkungan dan mitigasi bencana. Pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir, pengembangan ruang terbuka hijau, dan peningkatan kapasitas resapan air tanah perlu diprioritaskan.
Peran Pemerintah dan Kesadaran Masyarakat
Pemerintah Kota Bekasi memiliki peran vital dalam hal ini. Penerapan peraturan tata ruang yang tegas dan pengawasan yang ketat terhadap pembangunan sangat diperlukan. Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan juga sangat penting. Partisipasi aktif warga dalam menjaga kebersihan sungai dan menghindari pembuangan sampah sembarangan dapat mengurangi risiko banjir.
Tidak hanya pemerintah kota, pemerintah provinsi dan pusat juga perlu terlibat aktif dalam penanggulangan banjir Bekasi. Kerjasama antar instansi dan koordinasi yang baik sangat penting untuk menyusun strategi jangka panjang dan efektif. Perlu juga dikaji ulang masterplan pengendalian banjir Jabodetabek untuk memastikan kesesuaiannya dengan kondisi terkini.
Mitigasi Bencana di Jabodetabek
Bencana banjir di Bekasi merupakan bagian dari permasalahan yang lebih luas di wilayah Jabodetabek. Pentingnya kolaborasi antar daerah dalam hal perencanaan dan penanggulangan bencana tidak bisa diabaikan. Masterplan pengendalian banjir terintegrasi untuk seluruh wilayah Jabodetabek harus menjadi prioritas utama.
Dengan melakukan langkah-langkah komprehensif dan berkelanjutan, ancaman banjir di Bekasi dapat dikurangi secara signifikan. Namun, perlu komitmen dan kerjasama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan tersebut. Keterlibatan aktif masyarakat, penegakan aturan yang tegas, dan perencanaan yang terpadu akan menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi masalah banjir yang terus menghantui Kota Bekasi.