Banjir Kebon Pala: Warga Tolak Relokasi Rusunawa Rano Karno

Warga Kebon Pala, Jakarta Timur, menolak tawaran relokasi ke rumah susun (rusun) meski daerah tempat tinggal mereka kerap dilanda banjir. Endang (53), salah satu warga Tanah Rendah, Kebon Pala, mengatakan ia lebih memilih bertahan di rumahnya yang berada di bantaran Kali Ciliwung.

Alasan utamanya adalah keterikatan emosional dengan tempat kelahirannya. Ia merasa nyaman tinggal di lingkungan yang sudah dikenal dan dihuni oleh tetangga-tetangganya. “Tetap di sini, tanah kelahiran, warga di sini juga maunya di sini,” ujarnya.

Selain itu, Endang juga mempertimbangkan aspek finansial. Tinggal di rusun berarti ia harus membayar sewa setiap bulan, sementara di rumahnya saat ini, ia tidak perlu mengeluarkan biaya sewa. “Rusun kan juga bayar, enggak gratis,” tuturnya.

Meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di kawasan rawan banjir, Endang mengaku sudah terbiasa. Ia menyebut banjir di wilayahnya terjadi secara siklus, sekitar lima tahunan sekali. Namun, banjir kali ini diakui lebih besar daripada biasanya, bahkan menyamai banjir besar tahun 2007 akibat luapan Kali Ciliwung.

Banjir kali ini memaksa Endang dan keluarganya mengungsi pada Selasa (4/3/2025) karena rumahnya terendam air lebih dari satu meter. Mereka baru bisa kembali ke rumah setelah banjir surut keesokan harinya. “Kemarin (Senin) cuma segini (50 cm) terus turun tuh, lama sih surutnya pas kita buka puasa, baru turun. Kalau yang kemarin Selasa tinggi banget,” kenang Endang.

Tawaran relokasi ke rusun sendiri datang dari Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno. Rano memandang relokasi sebagai solusi paling efektif untuk mengatasi masalah banjir yang berulang di Jakarta. Ia berupaya meyakinkan warga untuk pindah ke rusun, menawarkannya sebagai pilihan yang lebih aman dan nyaman.

Namun, upaya persuasi Rano belum membuahkan hasil. Banyak warga, termasuk Endang, tetap enggan meninggalkan tempat tinggal mereka. Rano bahkan sering bercanda dengan warga yang menolak relokasi, mengingatkan mereka akan risiko banjir yang terus mengancam.

Permasalahan ini menyoroti kompleksitas masalah relokasi warga di daerah rawan bencana. Selain aspek finansial dan emosional, perlu dipertimbangkan juga aspek sosial dan budaya yang melekat pada suatu tempat tinggal. Relokasi bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan juga perpindahan dari lingkungan sosial dan budaya yang telah lama dibangun.

Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi yang lebih komprehensif, tidak hanya sebatas relokasi. Penting untuk mengeksplorasi berbagai alternatif, seperti pengembangan infrastruktur pengendalian banjir yang lebih efektif, program peningkatan kapasitas rumah warga agar lebih tahan banjir, dan program bantuan keuangan bagi warga terdampak banjir. Dengan pendekatan yang holistik, pemerintah dapat lebih efektif menangani masalah banjir dan menghindari dampak negatif dari relokasi paksa.

Perlu pula diperhatikan aspek transparansi dan partisipasi warga dalam proses pengambilan keputusan terkait relokasi. Komunikasi yang baik antara pemerintah dan warga sangat penting untuk membangun rasa saling percaya dan menghindari konflik. Relokasi yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi warga akan berpotensi menciptakan masalah baru yang lebih kompleks.

Kesimpulannya, persoalan banjir di Kebon Pala dan penolakan warga terhadap relokasi ke rusun menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih manusiawi dan komprehensif dari pemerintah. Solusi jangka panjang yang melibatkan partisipasi aktif warga dan perencanaan infrastruktur yang matang menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *