Kementerian Agama (Kemenag) berencana merevisi skema kuota haji per provinsi di Indonesia. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU), Hilman Latief, menyatakan perlunya kajian ulang terhadap sistem penentuan kuota ini.
Saat ini, penentuan kuota mengacu pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021. Peraturan tersebut menggunakan dua acuan utama: proporsi penduduk muslim dan jumlah pendaftar haji di setiap provinsi. Namun, sistem ini dinilai belum ideal.
Hilman menjelaskan adanya disparitas signifikan antara jumlah penduduk muslim dan jumlah pendaftar haji di beberapa provinsi. Sebagai contoh, suatu provinsi dengan 48 juta penduduk muslim mungkin hanya memiliki 550 ribu pendaftar, sementara provinsi lain dengan 40 juta penduduk muslim justru memiliki 700 ribu pendaftar.
Permasalahan Ketimpangan Kuota Haji
Ketimpangan ini menyebabkan masa tunggu haji menjadi tidak merata antar provinsi. Provinsi dengan jumlah pendaftar yang jauh lebih banyak dari proporsi penduduk muslimnya akan mengalami masa tunggu yang jauh lebih lama.
Hal ini memicu ketidakadilan dan protes dari beberapa daerah, khususnya yang memiliki jumlah penduduk muslim besar namun kuota hajinya relatif kecil. Kondisi ini mendorong Kemenag untuk melakukan evaluasi dan mencari solusi yang lebih adil dan efektif.
Salah satu contohnya adalah permintaan dari Gubernur Aceh melalui Kepala Dinas Syariat Islam, Zahrol Fajri, untuk penambahan kuota haji. Aceh, dengan populasi sekitar 5,5 juta jiwa, merasa kuota haji yang diterima saat ini (sekitar 4000 jemaah per tahun) tidak sebanding dengan jumlah penduduknya.
Kajian Ulang Sistem Penentuan Kuota
Kemenag akan mengkaji dua pendekatan utama dalam menentukan kuota haji per provinsi. Pendekatan pertama masih berpatokan pada proporsi jumlah penduduk muslim. Pendekatan kedua berfokus pada jumlah pendaftar haji yang sebenarnya.
Kedua pendekatan ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan berbasis proporsi penduduk muslim bisa dianggap lebih adil secara demografis, namun mengabaikan antusiasme masyarakat untuk menunaikan ibadah haji. Sebaliknya, pendekatan berbasis jumlah pendaftar bisa lebih responsif terhadap permintaan, namun berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi provinsi dengan jumlah penduduk muslim besar namun minat berhaji yang rendah.
Kemungkinan besar, Kemenag akan menggabungkan kedua pendekatan tersebut dengan bobot tertentu. Faktor-faktor lain seperti infrastruktur pendukung keberangkatan haji di masing-masing provinsi juga akan dipertimbangkan dalam menentukan rumusan yang lebih komprehensif dan adil.
Potensi Solusi dan Tantangan
Salah satu solusi yang mungkin dipertimbangkan adalah sistem kuota dinamis, yang menyesuaikan kuota berdasarkan jumlah pendaftar setiap tahunnya dengan tetap memperhatikan proporsi penduduk muslim. Sistem ini menuntut sistem informasi dan data yang akurat dan terintegrasi.
Namun, implementasi sistem baru ini menghadapi tantangan. Kemenag perlu memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses penentuan kuota. Selain itu, diperlukan sosialisasi yang intensif kepada masyarakat agar memahami perubahan sistem dan menerima kebijakan yang diambil.
Proses revisi skema kuota haji ini diharapkan dapat menghasilkan sistem yang lebih adil, efisien, dan mampu mengakomodasi aspirasi seluruh masyarakat Indonesia yang ingin menunaikan ibadah haji.
Dengan adanya evaluasi dan perubahan sistem, diharapkan masa tunggu haji dapat dipersingkat dan memberikan kesempatan yang lebih merata bagi seluruh umat Islam di Indonesia untuk menunaikan rukun Islam kelima.