Aroma harum kapur barus, atau kamper, telah lama memikat dunia. Sejarah mencatat, rempah ini menjadi komoditas perdagangan internasional yang sangat berharga, bahkan nilainya setara dengan emas. Minat tinggi dari pedagang Arab dan Persia terhadap kapur barus ini, tercatat dalam sejarah dan sumber-sumber kuno.
Sebagian besar minat ini terdorong oleh penyebutan “kafur” dalam Al-Qur’an, khususnya dalam Surah Al-Insan ayat 5. Ayat tersebut menggambarkan minuman nikmat di surga yang bercampur air kafur. Meskipun para mufassir memiliki beragam interpretasi, banyak yang mengaitkan “kafur” ini dengan air dari tanaman kapur barus.
Tanaman Dryobalanops aromatica, penghasil kapur barus, tumbuh subur di hutan-hutan Nusantara, terutama di Sumatera Utara. Keberadaan kapur barus di wilayah ini telah lama dikenal dunia, dibuktikan oleh berbagai catatan sejarah dari berbagai peradaban.
Jejak Perdagangan Kapur Barus dalam Sejarah
Bukti fisik keberadaan perdagangan kapur barus terlihat dari penemuan Prasasti Tamil di Desa Lobu Tua, Sumatera Utara pada tahun 1873. Prasasti ini menunjukkan aktivitas perdagangan yang melibatkan pedagang dari Tamil. Bukan hanya pedagang Tamil, catatan perjalanan pedagang dari berbagai bangsa, seperti Arab, Persia, China, Melayu, Jawa, dan Eropa, menunjukkan betapa berharganya kapur barus sebagai komoditas.
Sumber-sumber Arab, seperti Ahbar as-Sin wa I-Hind (Catatan Mengenai China dan India) karya Abu Zayd al-Sirafi (851 M), menyebutkan daerah Fansur (Barus) sebagai penghasil kapur barus berkualitas tinggi. Informasi serupa juga ditemukan dalam Nukhbat Al-Dahr fi Ajaib Al-Barr wa Al-Bahr karya al-Dimaski (meninggal 1325 M).
Sumber Persia, seperti Akbarnameh karya Abu al-Fazl, juga mencatat jenis kamper terbaik, ribāhī atau Fancūrī, yang berasal dari daerah dekat Fancur, dekat Pulau Sanadib. Hal ini menunjukkan luasnya jangkauan perdagangan kapur barus hingga ke Persia.
Hubungan Kapur Barus dan Penyebaran Islam di Nusantara
Perdagangan kapur barus tidak hanya memiliki signifikansi ekonomi, tetapi juga berperan dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Jajat Burhanudin dalam bukunya Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, mencatat hubungan antara Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan internasional dan penyebaran Islam.
Surat-surat yang dikirim oleh Raja Sriwijaya kepada Khalifah di Timur Tengah menyebutkan kapur barus sebagai salah satu komoditas dagang penting. Kedatangan pedagang muslim dari Arab dan Persia untuk berdagang kapur barus ikut berperan dalam memperkenalkan dan menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.
Kota Barus, yang disebut juga Barousai atau Fansur, merupakan bandar dagang penting di pantai barat Sumatera. Nama Barus sendiri dikaitkan dengan keberadaan kapur barus di wilayah tersebut. Kota ini menjadi pusat perdagangan yang ramai dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negara, terutama India, Persia, dan Arab, seperti yang tercatat dalam catatan perjalanan para pengembara Arab pada abad ke-10.
Proses Pengolahan dan Kegunaan Kapur Barus
Kapur barus diperoleh dari pohon Dryobalanops aromatica. Proses pengambilannya memerlukan keahlian khusus karena kapur barus terkumpul di dalam batang dan cabang pohon yang telah tua. Setelah ditebang, batang pohon tersebut dibiarkan beberapa waktu hingga kapur barus mengkristal dan dapat diekstrak.
Selain digunakan sebagai bahan wewangian, kapur barus juga memiliki kegunaan lain, seperti bahan obat-obatan tradisional dan pengawet. Aroma khas kapur barus dipercaya dapat menghalau serangga dan menjaga barang-barang tetap terlindungi dari kerusakan. Hal ini turut meningkatkan nilai jual dan permintaan kapur barus di pasar internasional.
Peran kapur barus dalam sejarah perdagangan internasional dan penyebaran Islam di Nusantara menunjukkan betapa pentingnya komoditas ini. Aroma harumnya tidak hanya menjadi simbol kemewahan, tetapi juga menjadi saksi bisu pertukaran budaya dan perdagangan antar berbagai bangsa di masa lalu.