Di tengah gejolak global yang kian intensif, ketegangan geopolitik, gelombang populisme berbasis agama, dan jurang kesenjangan sosial-ekonomi menciptakan perpecahan yang semakin dalam di antara bangsa-bangsa dan kelompok masyarakat. Konflik bersenjata di Timur Tengah hingga meningkatnya sentimen supremasi di negara-negara Barat menjadi bukti nyata. Agama, sayangnya, seringkali dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik dan memperdalam polarisasi.
Ketimpangan ekonomi dan sosial semakin menganga, menciptakan perbedaan signifikan antara si kaya dan si miskin, baik di tingkat individu maupun antarnegara. Situasi ini memicu ketidakstabilan dan ketidakpercayaan, mengancam perdamaian dan kerjasama global.
Ramadhan: Oase Perdamaian di Tengah Badai Global
Dalam situasi penuh konflik dan ketidakpastian ini, Ramadhan hadir sebagai momen perenungan kolektif, menawarkan alternatif bagi dunia yang terpecah belah. Bulan suci ini bukan sekadar ibadah personal, melainkan juga wahana untuk menanamkan nilai-nilai keadilan sosial, empati, dan solidaritas.
Nilai-nilai tersebut dapat menjadi fondasi dalam membangun persahabatan dan perdamaian dunia. Jika nilai-nilai Ramadhan benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sosial dan politik global, harmonisasi antar bangsa dan antar umat manusia menjadi lebih mungkin.
Puasa Ramadhan mengajarkan kita untuk menahan diri, tidak hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari egoisme, amarah, dan prasangka. Dalam dunia yang sering didorong oleh kepentingan individu dan nasionalisme sempit, puasa mengingatkan kita akan kebersamaan dalam kemanusiaan yang lebih luas.
Kita diajak merasakan penderitaan mereka yang kekurangan, meningkatkan kepekaan sosial, dan bertindak lebih adil dalam kehidupan sehari-hari. Inilah esensi Ramadhan: latihan spiritual yang memperkuat hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.
Inisiatif Lintas Agama dan Solidaritas Global
Berbagai inisiatif lintas agama memanfaatkan momentum Ramadhan untuk membangun jembatan persahabatan. Di Amerika Serikat dan Eropa, tradisi “Iftar Antaragama” mempertemukan pemimpin Muslim, Kristen, Yahudi, dan pemeluk agama lain dalam suasana kebersamaan dan saling pengertian.
Di Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sering menyelenggarakan buka puasa bersama guna memperkuat solidaritas sosial. Di Turki dan Qatar, bantuan kemanusiaan selama Ramadhan tidak hanya diberikan kepada Muslim, tetapi juga komunitas lain yang membutuhkan, menunjukan nilai kepedulian universal dalam Islam.
Organisasi internasional juga memanfaatkan momentum Ramadhan untuk memperkuat solidaritas global. UNHCR mendistribusikan bantuan makanan kepada pengungsi, sementara ISESCO menginisiasi program pendidikan dan pemberdayaan ekonomi untuk komunitas kurang mampu. Negara-negara dengan populasi Muslim besar juga menggunakan Ramadhan sebagai momentum diplomasi budaya.
Ramadhan sebagai Momentum Perdamaian
Dalam konteks perdamaian, Ramadhan seringkali menjadi momen bagi komunitas yang berkonflik untuk meredakan ketegangan dan memulai dialog damai. Gencatan senjata atau upaya diplomasi di beberapa negara diinisiasi selama Ramadhan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual.
Ramadhan menjadi waktu refleksi bagi semua pihak untuk merenungkan bagaimana mereka dapat menjadi agen perdamaian. Refleksi ini tidak hanya terbatas pada aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga meliputi sejauh mana kita menjalani kehidupan dengan penuh kebajikan dan kedamaian.
Ramadhan mengingatkan kita bahwa perdamaian bukanlah sekadar slogan, melainkan prinsip hidup yang harus diperjuangkan. Kita harus memulai dari diri sendiri – dari cara kita berbicara, bersikap, dan memperlakukan orang lain.
Refleksi Spiritual dan Tantangan Ke Depan
Dari perspektif spiritual, Ramadhan menekankan pentingnya kesabaran dan menahan diri, nilai-nilai krusial dalam meredakan ketegangan global. Imam Al-Ghazali mengatakan puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga kebencian dan permusuhan. Al-Quran dalam Surah Al-Hujurat ayat 13 menegaskan keberagaman sebagai dasar persahabatan dunia.
Namun, tantangan tetap ada. Islamofobia dan kebijakan yang membatasi kebebasan beribadah bagi Muslim di beberapa negara Eropa masih menjadi penghalang. Interpretasi sempit terhadap agama dalam beberapa komunitas Muslim juga dapat menghambat keterbukaan terhadap dialog dan kerjasama lintas budaya.
Umat Islam perlu terus menampilkan wajah Islam yang damai dan inklusif, terutama melalui momentum Ramadhan. Dengan mengedepankan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, keadilan, dan solidaritas, Ramadhan dapat menjadi alat yang ampuh dalam memperkuat hubungan antarindividu, masyarakat, dan negara.
Di penghujung Ramadhan, kebaikan bukan hanya untuk satu bulan, melainkan harus berkelanjutan. Ramadhan adalah proses transformasi diri yang harus berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Setiap langkah kecil menuju kebaikan berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih damai dan berkeadilan. Ramadhan mengajarkan bahwa harapan akan dunia yang lebih baik selalu ada.
Eko Ernada
Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional Universitas Jember, anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI-PBNU)
Artikel ini merupakan kiriman pembaca. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.