Penguasaan Israel atas Wilayah Druze Suriah: Sejarah, Politik, dan Dampaknya

Ketegangan di Suriah selatan meningkat tajam setelah insiden bendera Israel berkibar di Sweida, wilayah mayoritas Druze. Aksi ini memicu protes keras dari warga setempat yang langsung menurunkan dan membakar bendera tersebut. Kejadian ini menunjukkan betapa rapuhnya situasi pasca-jatuhnya rezim Bashar al-Assad dan meluasnya kecurigaan terhadap aktor-aktor regional dan internasional.

Insiden ini mengikuti peristiwa sebelumnya di Jaramana, pinggiran Damaskus, di mana terjadi baku tembak antara warga Druze dan aparat keamanan Suriah. Rumor yang beredar menyebutkan adanya koneksi antara beberapa warga Druze yang melawan pemerintahan baru Suriah dengan komunitas Druze di Israel, termasuk dugaan pasokan senjata untuk memicu ketegangan di perbatasan.

Komunitas Druze, minoritas agama di Timur Tengah dengan keyakinan unik, memiliki sekitar 150.000 warga negara Israel yang banyak bertugas di militer dan dianggap loyal kepada negara. Di Suriah, sekitar 700.000 warga Druze merupakan salah satu kelompok minoritas terbesar yang kini menuntut perlindungan dan hak-hak mereka di bawah pemerintahan baru yang belum stabil.

Tuduhan pun muncul mengenai dugaan keterlibatan otoritas agama Druze yang memainkan isu ini dengan Israel untuk memperkuat pengaruh mereka dalam pemerintahan baru Suriah. Situasi ini sangat kompleks dan melibatkan berbagai kepentingan politik dan kekuasaan.

Tanggapan Israel dan Analisis Geopolitik

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan kesiapan negaranya membela komunitas Druze dari ancaman pemerintahan baru Suriah, mengucapkan bahwa serangan terhadap warga Druze akan berhadapan langsung dengan Israel. Namun, pernyataan ini dinilai banyak pihak lebih sebagai strategi geopolitik ketimbang kepedulian tulus terhadap hak asasi manusia.

Para analis melihat strategi ini sebagai bagian dari “periphery doctrine” Israel, yakni membangun aliansi dengan minoritas non-Muslim di negara tetangga untuk melemahkan pengaruh pemerintah negara tersebut. Hal serupa juga terlihat pada tindakan negara-negara lain, seperti Rusia yang mengklaim melindungi warga Kristen, dan Iran yang menyebut diri sebagai pelindung Syiah.

Andreas Krieg, dosen senior di King’s College London, berpendapat bahwa berbagai kekuatan asing memanfaatkan isu perlindungan minoritas untuk menutupi ambisi imperialis mereka. Stabilitas Suriah justru tidak menguntungkan Israel, karena Suriah yang stabil akan memiliki kapasitas untuk menantang Israel secara langsung.

Pendudukan Suriah Selatan dan Pelanggaran Hukum Internasional

Sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024, Israel meningkatkan serangan udara di Suriah secara signifikan. Dalam 48 jam pertama pasca jatuhnya rezim Assad, Israel menghancurkan sebagian besar kapasitas militer strategis Suriah. Serangan-serangan ini seringkali dibenarkan dengan dalih menyerang target militer.

Israel juga mengerahkan pasukan ke zona penyangga di perbatasan Suriah, awalnya diklaim sebagai tindakan sementara, namun kini tampaknya akan menjadi permanen. Hal ini menimbulkan keprihatinan dari United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF) yang menyatakan tindakan tersebut melanggar perjanjian gencatan senjata.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa Israel sedang membangun infrastruktur baru di wilayah Suriah yang diduduki, merusak properti warga, dan menahan penduduk setempat. Sebagai kompensasi, Israel menawarkan bantuan berupa air, makanan, listrik, dan pekerjaan di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak 1967.

Seruan Netanyahu untuk “demiliterisasi total Suriah selatan” dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Andreas Krieg menekankan bahwa tindakan Israel bukan hanya ilegal, tetapi juga menggunakan kekuatan militer untuk menyerang target yang tidak secara langsung mengancam keamanan Israel. Strategi konfrontatif ini justru berpotensi memicu munculnya kelompok perlawanan baru di Suriah.

Kemunculan kelompok bersenjata baru seperti “The Islamic Resistance Front in Syria – Great Might” yang siap melawan kehadiran militer Israel menunjukkan potensi meningkatnya konflik di wilayah tersebut. Situasi ini membutuhkan penyelesaian diplomatis dan penghormatan terhadap hukum internasional untuk menghindari eskalasi lebih lanjut.

Perlu dicatat bahwa informasi mengenai tanggal jatuhnya rezim Assad (Desember 2024) dalam artikel ini mungkin bersifat hipotetis atau skenario masa depan. Tanggal tersebut perlu diverifikasi dengan sumber berita yang kredibel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *