Diplomasi Trump: Kode Rahasia, Gertakan, atau Kesempatan Tersembunyi?

Pertemuan antara Presiden Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Gedung Putih pada 28 Februari menandai titik balik signifikan dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Pertemuan tersebut, yang diwarnai penghinaan terbuka, bukan hanya menghancurkan prospek kesepakatan mineral yang telah lama dinegosiasikan, tetapi juga menorehkan momen memalukan bagi Ukraina yang diperlakukan dengan rendah hati oleh sekutunya sendiri.

Trump, bukannya bertindak sebagai mediator yang adil, justru menunjukkan sikap arogan sebagai negosiator yang telah menetapkan posisi Zelenskyy sebagai pihak yang lemah. Di depan wartawan, Trump dan Wakil Presiden JD Vance memamerkan realisme politik yang kasar, menggambarkan Ukraina bukan sebagai mitra strategis, melainkan entitas yang harus patuh dan menunjukkan rasa terima kasih tanpa syarat. Pernyataan Trump bahwa Zelenskyy “tidak memiliki kartu” dalam negosiasi tanpa bantuan AS mengungkapkan inti hubungan tersebut: transaksi yang didasarkan pada seberapa besar keuntungan yang bisa diperoleh Washington.

Insiden Gedung Putih ini menjadi sinyal jelas bahwa AS di bawah Trump telah meninggalkan komitmennya pada prinsip-prinsip demokrasi dan sekutunya. Bagi Trump, hubungan internasional bukan soal solidaritas atau nilai-nilai universal, melainkan keuntungan langsung dan kalkulasi pragmatis jangka pendek. Hal ini merupakan pukulan telak bagi Ukraina yang tengah berjuang melawan agresi Rusia, dan menjadi kemenangan politik bagi Rusia yang tanpa perlu melakukan upaya ekstra telah melihat posisi Ukraina melemah di mata dunia.

Dampak Global dan Implikasi bagi Indonesia

Dampak dari peristiwa ini meluas jauh melampaui Ukraina. Insiden ini mencerminkan cara kerja pemerintahan Trump dan menjadi peringatan bagi negara lain yang bergantung pada AS sebagai mitra strategis, termasuk Indonesia. Di Indonesia, banyak yang melihat kemenangan Trump sebagai keuntungan bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dengan harapan hubungan pribadi antara Prabowo dan Trump dapat menjaga hubungan bilateral yang baik.

Namun, insiden Zelenskyy membuktikan bahwa hubungan pribadi tidak cukup menjamin stabilitas hubungan antarnegara. Meskipun Zelenskyy pernah menerima pujian dan dukungan dari Trump, termasuk bantuan militer, segalanya berubah dalam sekejap di Gedung Putih. Loyalitas tidak berarti apa-apa bagi Trump jika tidak ada keuntungan ekonomi atau politik langsung yang bisa diraih.

Indonesia harus waspada. Jika Trump dapat dengan mudah meninggalkan Ukraina, negara yang telah menerima miliaran dolar bantuan militer, maka tidak ada jaminan Indonesia akan diperlakukan lebih baik. Kedekatan pribadi antara Prabowo dan Trump, yang sering disebut sebagai aset diplomatik, mungkin tidak berarti apa-apa dalam politik luar negeri Trump yang transaksional.

Kebijakan Luar Negeri Indonesia yang Lebih Mandiri

Indonesia berada dalam kawasan yang lebih kompleks secara geopolitik dibandingkan Ukraina. Jika Trump dapat dengan mudah mengubah kebijakan terhadap Ukraina, maka posisi Indonesia bisa jauh lebih sulit dalam konteks Indo-Pasifik yang dinamis. Dibandingkan dengan pendekatan multilateral dan kerjasama strategis Joe Biden di Indo-Pasifik, Trump memiliki pendekatan yang sangat berbeda, ditandai dengan penarikan diri dari TPP dan ancaman penarikan diri dari aliansi pertahanan tradisional.

Kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan berpotensi mengancam stabilitas kawasan. Indonesia, dengan posisi non-bloknya, bisa dipaksa mengambil sikap yang lebih tegas. Trump lebih tertarik pada kesepakatan konkret daripada diplomasi halus. Dalam isu Laut China Selatan misalnya, AS di bawah Trump mungkin akan lebih agresif terhadap China, namun tanpa jaminan jangka panjang bagi negara-negara di kawasan. Indonesia bisa terdorong untuk mengambil posisi pro-AS, tanpa jaminan komitmen AS jika situasi memburuk.

Kasus Ukraina mengajarkan bahwa Trump tidak ragu mencabut dukungan kepada sekutu. Indonesia harus mengadopsi pendekatan yang lebih mandiri dalam diplomasi dan pertahanan. Ketergantungan pada AS sebagai mitra utama dalam keamanan kawasan bukan lagi strategi yang realistis. Indonesia perlu memperkuat hubungan dengan Uni Eropa, India, Jepang, dan negara-negara Global South lainnya untuk mengurangi ketergantungan pada satu kekuatan besar. ASEAN juga harus diperkuat sebagai blok yang lebih solid.

Indonesia juga harus memperkuat industri pertahanannya sendiri. Jika Trump mengurangi atau menarik kerja sama militer dengan Indonesia, Indonesia harus memiliki kapasitas untuk menjaga stabilitas regional tanpa ketergantungan berlebihan pada kekuatan eksternal. Krisis diplomatik Trump-Zelenskyy harus menjadi peringatan bagi dunia bahwa dalam politik luar negeri Trump, tidak ada kesetiaan abadi. Hubungan internasional bukan lagi soal nilai-nilai bersama, melainkan soal siapa yang menawarkan kesepakatan terbaik.

Bagi Indonesia, ini adalah waktu untuk menata ulang kebijakan luar negeri dengan pendekatan yang lebih realistis. Hubungan baik Prabowo dengan Trump tidak cukup menjamin keselamatan Indonesia dari nasib seperti Ukraina. Kegagalan membaca tanda-tanda zaman dapat menjadikan Indonesia korban berikutnya dari diplomasi transaksional Trump. Hanya negara yang mandiri dan cerdas dalam diplomasi yang akan bertahan dalam dunia yang semakin oportunistik.

Virdika Rizky, Utama Direktur Eksekutif PARA Syndicate dan Dosen Hubungan Internasional President University

(mmu/mmu)

Exit mobile version