Sidang perdana mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula telah digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Kamis, 6 Maret 2025. Sidang tersebut beragendakan pembacaan surat dakwaan yang mengungkap berbagai fakta mengejutkan.
Kasus ini melibatkan total 11 tersangka, termasuk Tom Lembong. Sidang ini merupakan sidang perdana, setelah gugatan praperadilan Tom Lembong ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dakwaan yang dibacakan menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan potensi kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.
Istri Tom Lembong, Ciska Wihardja, dan Anies Baswedan, mantan Gubernur Jakarta dan capres, turut hadir dalam persidangan tersebut. Kehadiran Anies Baswedan cukup mencuri perhatian dan menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan publik. Perlu diinvestigasi lebih lanjut mengenai keterkaitan Anies Baswedan dengan kasus ini.
11 Fakta Mengejutkan dari Dakwaan Tom Lembong
Kerugian Negara dan Para Tersangka
Jaksa penuntut umum mendakwa Tom Lembong dan 10 tersangka lainnya telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 578.105.409.622,47. Sepuluh pengusaha tersebut diduga telah menikmati uang sebesar Rp 515 miliar dari hasil korupsi impor gula. Selisih sekitar Rp 62,6 miliar masih dalam proses penyelidikan dan akan dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan selanjutnya.
Nama-nama sepuluh pengusaha tersebut antara lain Charles Sitorus (PT Perusahaan Perdagangan Indonesia), Tony Wijaya NG (PT Angels Products), Then Surianto Eka Prasetyo (PT Makassar Tene), Hansen Setiawan (PT Sentra Usahatama Jaya), Indra Suryaningrat (PT Medan Sugar Industry), Eka Sapanca (PT Permata Dunia Sukses Utama), Wisnu Hendraningrat (PT Andalan Furnindo), Hendrogiarto A Tiwow (PT Duta Sugar International), Hans Falita Hutama (PT Berkah Manis Makmur), dan Ali Sandjaja Boedidarmo (PT Kebun Tebu Mas). Perlu ditelusuri lebih lanjut jaringan dan keterlibatan masing-masing tersangka dalam skema korupsi ini.
Izin Impor dan Stok Gula
Dakwaan menyebutkan bahwa pada tahun 2015, saat stok gula konsumsi masih mencukupi berdasarkan rapat koordinasi antar kementerian, Tom Lembong justru menerbitkan persetujuan impor gula. Hal ini menunjukkan adanya dugaan penyimpangan dan ketidaksesuaian kebijakan dengan kondisi riil di lapangan. Rapat koordinasi tersebut melibatkan Menko Perekonomian, Menteri Perdagangan, dan Menteri BUMN, membahas stabilisasi pangan dan inflasi menjelang Ramadan dan Idul Fitri.
Lebih lanjut, Tom Lembong juga diduga menerbitkan 21 persetujuan impor gula tanpa koordinasi dengan Kementerian Perindustrian. Langkah ini melanggar prosedur dan peraturan yang berlaku, serta membuka celah bagi praktik korupsi. Perlu dikaji lebih dalam mengenai mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban dalam pengambilan keputusan terkait impor komoditas.
Peran Tom Lembong dan PT PPI
Jaksa mengungkap tujuh peran Tom Lembong yang diduga melanggar hukum, termasuk menerbitkan surat persetujuan impor gula kepada 10 perusahaan swasta tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian dan menunjuk koperasi-koperasi alih-alih BUMN untuk menstabilkan harga gula.
PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), BUMN yang seharusnya mengelola impor gula, justru dikesampingkan. Dakwaan juga mengungkap percakapan internal PT PPI yang mempertanyakan kebijakan impor gula era Tom Lembong. Hal ini menunjukkan adanya indikasi kecurigaan dan potensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Tom Lembong dan para pihak terkait.
Alur Perkara dan Reaksi Tom Lembong
Dakwaan menjelaskan alur perkara secara rinci, mulai dari persetujuan impor gula tanpa rapat koordinasi hingga penunjukan koperasi-koperasi dan peran PT PPI. Rincian kerugian yang diderita setiap pihak juga dijabarkan secara detail.
Terhadap dakwaan tersebut, Tom Lembong mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Langkah ini merupakan hak konstitusional terdakwa untuk membantah dakwaan yang dilayangkan oleh jaksa penuntut umum. Proses persidangan selanjutnya akan menentukan tingkat pembuktian dan putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan dan transparansi dalam pengambilan kebijakan pemerintah, khususnya terkait impor komoditas strategis. Penegakan hukum yang tegas diperlukan untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dan melindungi kepentingan negara.