Di rumah-rumah, para ibu dengan tekun menyiapkan hidangan berbuka puasa. Anak-anak membantu menata meja makan dengan hiasan khas Ramadhan, menciptakan suasana hangat dan penuh sukacita. Aroma pide, sup lentil, dan manisan khas Utsmaniyah yang menggoda selera memenuhi udara, semakin menambah semangat menantikan waktu berbuka.
Di masjid-masjid, suasana khusyuk menyelimuti jemaah yang berkumpul. Lampu minyak dan lilin menyala lembut, menerangi wajah-wajah yang khusyuk berdoa dan berbagi cerita, menunggu waktu berbuka puasa tiba. Suasana kebersamaan dan kekeluargaan begitu terasa.
Lalu, suara meriam menggema dari alun-alun Masjid Biru di Istanbul. Meriam iftar, atau Ramazan Topu dalam bahasa Turki, menandai waktu berbuka puasa telah tiba. Suara dentumannya menjadi pertanda yang dinantikan oleh seluruh masyarakat.
Tradisi Meriam Iftar: Sebuah Ketidaksengajaan Bersejarah
Tradisi Ramazan Topu bermula pada era Dinasti Utsmaniyah di abad ke-19. Salah satu teori yang populer menyebutkan bahwa tradisi ini lahir secara tidak sengaja. Pada tahun 1821, di masa pemerintahan Gubernur Muhammad Ali Pasya di Mesir, pasukan Ottoman sedang menguji meriam di Benteng Anatolia.
Kebetulan, pengujian tersebut dilakukan saat matahari terbenam, tepat pada waktu Magrib. Suara dentuman meriam yang keras terdengar ke seluruh penjuru kota. Masyarakat yang mendengarnya mengira itu sebagai tanda berbuka puasa.
Melihat kejadian tersebut, Kekaisaran Ottoman memutuskan untuk menjadikan dentuman meriam sebagai penanda resmi waktu berbuka puasa. Tradisi ini dengan cepat menyebar ke benteng-benteng dan barak militer lainnya, seperti Benteng Rumeli, Benteng Yedikule, dan Barak Baltalimani.
Christopher Oscanyan dalam bukunya, “The Sultan and His People,” menggambarkan suasana saat itu. Suara meriam menandai waktu berbuka, disusul dengan menikmati minuman ringan, menghisap tembakau, melaksanakan salat Magrib, dan kemudian menikmati hidangan makan malam.
Selain versi ini, ada juga versi lain yang mengaitkan tradisi ini dengan Sultan Mahmud II (1808-1839). Sultan yang dikenal dengan reformasinya, termasuk modernisasi militer, mungkin melihat meriam iftar sebagai cara menggabungkan kemajuan teknologi dengan tradisi keagamaan.
Hingga tahun 1827, dentuman meriam tak hanya menandai berbuka, tetapi juga membangunkan masyarakat untuk sahur. Tradisi ini tersebar luas dari Ankara hingga Marash, Ünye hingga Shkodër, dan Acre hingga Haifa.
Penyebaran Tradisi Meriam Iftar ke Seluruh Dunia
Tradisi meriam iftar kemudian menyebar ke wilayah Levant, Jazirah Arab, Bosnia, dan anak benua India. Berbagai negara menggunakan berbagai jenis artileri, dari meriam modern hingga meriam cor tradisional.
Terrance M.P. Dugan dalam risetnya mencatat lebih dari 300 catatan sejarah mengenai penggunaan meriam terkait Ramadhan dan Idul Fitri. Catatan-catatan tersebut menunjukkan praktik ini tersebar luas di wilayah Islam, dari Konstantinopel hingga Aleppo.
Alexander Russel dalam “The Natural History of Aleppo” juga mencatat penggunaan meriam untuk mengumumkan dimulainya Ramadhan, waktu berpuasa, berbuka puasa, dan berakhirnya Ramadhan. Penggunaan meriam sebagai penanda waktu penting dalam kalender Islam menjadi praktik yang umum.
Di Arab Saudi dan UEA, adopsi tradisi ini terjadi pada abad ke-20, dikenal sebagai Midfa al-Iftar. Di UEA, awalnya dimulai di Dubai dan Sharjah karena belum tersebarnya pengeras suara di masjid-masjid. Sekarang, lokasi penembakan meriam iftar diumumkan secara resmi oleh kepolisian Dubai.
Di Bosnia, meriam tradisional ditembakkan di Benteng Žuta Tabija sepanjang hari selama Ramadhan. Di Yerusalem, tradisi ini dimulai sejak tahun 1945, menggunakan meriam bekas Perang Dunia I yang diberikan kepada otoritas Palestina.
Namun, kelangsungan tradisi ini bergantung pada iklim politik dan sosial. Konflik, rezim sekuler, atau pandemi seperti Covid-19 dapat menyebabkan tradisi ini dihentikan sementara.
Meskipun disukai masyarakat, tradisi ini juga berisiko. Meriam yang digunakan bukan replika, melainkan meriam asli dengan daya ledak tinggi. Penembakan hanya dapat dilakukan oleh profesional terlatih.
Di era modern, tradisi meriam iftar tetap lestari di berbagai negara. Suara dentumannya bahkan disiarkan melalui televisi dan radio, menjangkau masyarakat di daerah terpencil. Di UEA, tradisi ini dipandang sebagai bagian penting dalam melestarikan nilai-nilai toleransi, kemurahan hati, dan cinta selama bulan suci Ramadhan.
Dengan demikian, tradisi meriam iftar bukan sekadar penanda waktu, tetapi juga simbol sejarah, budaya, dan keagamaan yang kaya dan terus dilestarikan hingga kini.