Menjelang waktu Magrib di bulan Ramadhan, pemandangan unik menghiasi jalanan. Jalanan berubah menjadi pasar dadakan, ramai dengan penjual dan pembeli takjil. Berbagai macam kudapan dan makanan ringan tersaji, mulai dari gorengan, es buah, kolak, hingga aneka kue basah. Fenomena ini, yang sering disebut “War Takjil,” menggambarkan semangat berbagi dan kebersamaan yang khas Ramadhan.
Tak ada aturan tertulis, namun semua orang memahami “aturan mainnya”. Siapa cepat, dia dapat. Suasana persaingan ini justru terasa menyenangkan, tanpa saling menyindir atau berebut. Laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, Muslim atau non-Muslim, semua setara dalam antrean. Di hadapan bubur sumsum, risol, kolak, dan lontong, perbedaan seakan sirna.
Pengamatan di sekitar Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, pada Rabu (6/3/2025) sore, memperkuat gambaran ini. Penjual takjil berjejer rapi menata dagangan mereka. Lontong dan gorengan menjadi menu utama, tetapi banyak juga yang menawarkan kue tradisional dan es buah segar. Pembeli, sebagian besar pekerja kantoran yang masih mengenakan pakaian rapi, berbaur dengan warga sekitar yang kasual berpakaian. Semuanya sama-sama bersemangat memburu takjil.
Suasana ini menggambarkan pencairan perbedaan. Tidak ada yang merasa lebih tinggi atau rendah. Semua dipersatukan oleh tujuan yang sama: berbuka puasa dengan kudapan yang diinginkan. Kejelian memilih, kemampuan menawar, dan sedikit keberuntungan menentukan keberhasilan dalam “perang” takjil ini.
Salah satu penjual, Ani, bersama ibunya, berjualan aneka gorengan, kue basah, dan kolak sejak pukul 3 sore. Hampir satu setengah jam sebelum waktu berbuka, sebagian besar dagangannya telah habis terjual. Hanya tersisa beberapa lontong isi oncom, bakwan udang, dan sosis gulung mie. Ani merasa bersyukur dan sumringah atas penjualan yang laris manis.
Ani bukanlah penjual makanan tetap. Ia dan ibunya memanfaatkan momen Ramadhan untuk menambah penghasilan. Kepercayaan dirinya tinggi karena ia telah berjualan takjil selama tiga tahun berturut-turut dan melihat takjil diterima semua kalangan, termasuk teman-temannya yang non-Muslim.
Uniknya, tak ada masalah atau pertanyaan identitas di antara pembeli. Tidak ada yang bertanya “Kamu siapa?” atau “Dari mana?”. Semua sibuk memilih dan membeli sebelum waktu Magrib tiba. Semua menjadi sama: manusia yang ingin pulang membawa makanan untuk berbuka puasa bersama keluarga, sahabat, atau kolega.
Asal-Usul Tradisi Takjil
Istilah “takjil” sendiri berasal dari hadits Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa. Kata “ajjalu” dalam hadits tersebut, yang berarti “menyegerakan,” menjadi cikal bakal istilah takjil. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan takjil sebagai mempercepat berbuka puasa dan makanan untuk berbuka puasa.
Catatan Snouck Hurgronje pada tahun 1891-1892 menyebutkan tradisi takjil telah ada di Aceh. Warga Aceh biasa menyantap takjil bersama di masjid, dengan menu khas seperti bubur pedas. Muhammadiyah juga disebut berperan dalam menyebarkan tradisi takjil di Indonesia.
Demokrasi di Meja Makan
Hans, seorang pekerja swasta non-Muslim, menggambarkan fenomena “War Takjil” sebagai cerminan toleransi masyarakat Indonesia. Ia dan teman-temannya dari berbagai agama, dengan santai berburu takjil bersama. Mereka menikmati berbagai makanan tanpa mempersoalkan agama masing-masing. Ini mencerminkan semangat kebersamaan dan saling menghormati.
Andreas, teman Hans yang beragama Katolik, melihat Ramadhan sebagai keberkahan bagi semua orang. Menurutnya, “War Takjil” memperlihatkan keragaman budaya dan agama Indonesia yang hidup berdampingan dengan damai. Ia menilai fenomena ini sebagai pembelajaran berharga tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nisfa, seorang pekerja Muslim, melihat fenomena ini sebagai perlombaan positif. Ia berpendapat, “War Takjil” mendorong semangat berbagi dan membantu ekonomi sesama. Ia menilai fenomena tersebut sebagai refleksi kehidupan bernegara yang penuh dengan dinamika, tetapi tetap menekankan aspek positifnya.
Dalam antrean takjil, orang-orang belajar bahwa mereka bukanlah individu yang terisolasi, melainkan bagian dari masyarakat yang lebih besar. Perbedaan agama dan latar belakang sirna dalam kesamaan kebutuhan akan makanan dan keinginan berbuka puasa bersama. “War Takjil” menjadi bukti nyata bahwa kebersamaan dan toleransi masih tetap hidup dan berharga.
Fenomena ini lebih dari sekadar kegiatan sosial; ia adalah ekspresi nilai gotong royong dan kebersamaan yang sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Dalam lingkungan yang kompetitif dan penuh kecurigaan, “War Takjil” menjadi jeda yang menyejukkan. Ia menunjukkan bahwa demokrasi bukan hanya sebatas pemilu, tetapi juga tentang berbagi ruang, kesempatan, dan rezeki.