Juru Bicara PDI Perjuangan, Guntur Romli, melontarkan interpretasi kontroversial terkait wacana “partai Super Tbk” yang dilontarkan Presiden Joko Widodo. Guntur menilai wacana tersebut sebagai kritik terselubung terhadap struktur Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang dipimpin oleh Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi.
Menurut Guntur, PSI merupakan contoh partai yang otoriter. Kekuasaan di partai tersebut, menurutnya, terpusat di tangan Dewan Pembina, yang dipimpin oleh Jeffrie Geovanie dan Raja Juli Antoni sebagai sekretaris. Guntur bahkan menyebut Jeffrie Geovanie sebagai pemilik sesungguhnya PSI, bukan Kaesang Pangarep yang menjabat sebagai Ketua Umum.
Pendapat Guntur ini didasarkan pada Pasal 16 AD/ART PSI. Pasal tersebut, menurut Guntur, memberikan wewenang absolut dan tanpa batas kepada Dewan Pembina. Bahkan, ayat 6 pasal tersebut menyatakan Dewan Pembina berhak memutuskan, menyetujui, dan membatalkan seluruh kebijakan partai di semua jenjang. Dengan demikian, posisi Kaesang sebagai Ketua Umum, menurut Guntur, menjadi tidak berarti karena berada di bawah kendali Dewan Pembina.
Guntur menduga, Jokowi, melalui gagasan “partai Super Tbk”, ingin mengubah struktur kepemimpinan PSI agar Kaesang memiliki otoritas yang lebih besar. Ia menduga Jokowi ingin melindungi dan memperkuat posisi putranya di partai tersebut.
Analisis Wacana “Partai Super Tbk” dan Struktur PSI
Guntur Romli melihat wacana “partai Super Tbk” sebagai refleksi cara pandang Jokowi yang memandang partai politik sebagai perusahaan. Analogi ini, menurut Guntur, menimbulkan pertanyaan krusial: siapa investor utama jika “partai Super Tbk” benar-benar terealisasi? Apakah Jokowi dan Kaesang akan menjadi pemegang saham mayoritas?
Pertanyaan ini menyoroti kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan dominasi modal dalam politik. Jika partai politik dijalankan seperti perusahaan, potensi penyalahgunaan kekuasaan dan kepentingan bisnis menjadi sangat besar. Transparansi dan akuntabilitas menjadi sangat penting untuk mencegah hal tersebut.
Implikasi dan Dampak Potensial
Wacana ini memicu perdebatan publik mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam partai politik. Struktur kepemimpinan yang terlalu terpusat, seperti yang dikritik Guntur pada PSI, berpotensi menimbulkan ketidakdemokrasian dan menghambat partisipasi anggota partai.
Lebih jauh, analogi “partai Super Tbk” membuka diskusi tentang peran uang dalam politik. Jika partai politik disamakan dengan perusahaan, maka sumber pendanaan dan alokasi dana menjadi sorotan utama. Mekanisme pengawasan yang ketat diperlukan untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan dana partai.
Kritik Guntur Romli terhadap PSI juga menimbulkan pertanyaan tentang kesehatan demokrasi di Indonesia. Apakah sistem kepartaian saat ini sudah cukup melindungi prinsip demokrasi, atau masih ada celah yang memungkinkan munculnya partai yang otoriter dan tidak transparan?
Pernyataan Guntur Romli membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang reformasi sistem kepartaian di Indonesia. Perlu adanya kajian mendalam tentang bagaimana menciptakan sistem yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel.