Pengeboran Panas Bumi: Energi Bersih, Bebas Emisi, Masa Depan Energi

Listrik telah menjadi kebutuhan vital manusia modern. Namun, metode pembangkit listrik konvensional berbasis bahan bakar fosil menimbulkan kontroversi karena dampak buruknya terhadap lingkungan. Desakan untuk beralih ke energi terbarukan semakin kuat, mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga surya, air, dan panas bumi (EBT).

Meski demikian, pemanfaatan EBT, terutama panas bumi, masih menuai perdebatan. Kurangnya edukasi publik tentang proses pengambilan energi panas bumi menyebabkan kesalahpahaman. Banyak yang mengira prosesnya sama merusak lingkungannya dengan pertambangan fosil. Padahal, kenyataannya jauh berbeda.

Mengenal Teknik Pengeboran Panas Bumi: Sebuah Proses yang Berbeda

Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, sekitar 28,5 gigawatt (GW), atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Namun, pemanfaatannya masih terbatas. Pengembangan panas bumi memerlukan studi geologi dan geofisika yang cermat untuk menentukan lokasi yang tepat.

Prosesnya dimulai dengan identifikasi lokasi potensial sumber panas bumi. Studi ini menentukan lokasi yang tepat dan presisi, sehingga tidak memerlukan penggalian lahan yang luas. Analisis terhadap struktur geologi, suhu bawah permukaan, dan karakteristik reservoir air tanah sangat penting.

Setelah persiapan matang, pengeboran dilakukan menggunakan alat bor khusus hingga kedalaman 450 hingga 3.000 meter. Selubung sumur kemudian dipasang. Penukar panas berupa rangkaian pipa dimasukkan untuk mengalirkan fluida (biasanya air) dan mentransfer panas ke permukaan.

Fluida yang dipanaskan oleh batuan panas di bawah permukaan bumi akan naik ke permukaan dalam bentuk uap. Uap inilah yang kemudian menggerakkan turbin yang terhubung ke generator listrik. Proses ini relatif ramah lingkungan dibandingkan pembangkit listrik konvensional.

Ali Ashat, peneliti di Laboratorium Geotermal ITB, menyatakan bahwa dampak lingkungan PLTP relatif kecil. “Wilayah kerja PLTP memang luas, tapi luas fasilitas kerjanya relatif kecil. Sebab fasilitas kerja ini tidak melebar melainkan masuk ke dalam bumi. Di luar fasilitas, maka tanah akan dibiarkan sebagaimana mulanya. Yang hutan, ya tetap jadi hutan. Yang kebun juga,” ujarnya.

Contoh pemanfaatan panas bumi di Indonesia adalah PLTP Ulumbu di Pulau Flores. PLTP ini telah beroperasi sejak 2012 dan menjadi pemasok listrik untuk Kabupaten Manggarai, wilayah yang sebelumnya kekurangan akses listrik. Pulau Flores sendiri memiliki potensi panas bumi yang besar, tersebar di 17 lokasi.

Panas Bumi: Lebih dari Sekadar Pembangkit Listrik

Selain sebagai sumber energi listrik, panas bumi juga berpotensi besar sebagai objek wisata. Manifestasi panas bumi, seperti mata air panas, tanah beruap, dan endapan sulfur, dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata yang menarik.

Kawah Ijen di Jawa Timur merupakan contoh nyata. Kawasan ini menarik ratusan ribu wisatawan setiap tahunnya dan menghasilkan sekitar 14 ton belerang per hari untuk berbagai keperluan, termasuk kosmetik dan obat-obatan.

Destinasi wisata berbasis panas bumi lainnya tersebar di Indonesia, seperti Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah), Taman Pendidikan Panas Bumi Lahendong (Sulawesi Utara), serta berbagai pemandian air panas di Jawa Barat dan Pulau Buru (Maluku).

Perbedaan Signifikan dengan Pertambangan Energi Fosil

Teknik pengeboran panas bumi berbeda jauh dengan pertambangan energi fosil. Pengeboran panas bumi menggunakan mesin bor, bukan penggali atau peledak. Dampak lingkungannya pun jauh lebih kecil. Pertambangan fosil seringkali mencemari dan merusak lingkungan secara signifikan.

Menurut Lembaga Energy Information Admission Amerika Serikat (EIA), emisi dari PLTP jauh lebih rendah daripada pembangkit listrik tenaga fosil, sekitar 99% lebih rendah karbon dioksida. Departemen Energi Amerika Serikat juga menyebut PLTP sebagai sumber energi bersih karena sebagian besar hanya melepaskan uap.

PLTP juga lebih hemat lahan. Departemen Energi Amerika Serikat mencatat PLTP hanya membutuhkan 404 m² per gigawatt hours, jauh lebih kecil dibandingkan batu bara (3.642 m²), angin (1.335 m²), atau tenaga surya (3.237 m²).

Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia memprioritaskan pengembangan panas bumi. Target pemanfaatan panas bumi hingga 2025 adalah 7,2 GW. Dari 2014 hingga 2024, penambahan kapasitas PLTP telah mencapai 1,2 GW, menjadikan Indonesia produsen listrik panas bumi terbesar kedua di dunia, dan menunjukkan komitmen Indonesia terhadap target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.

Exit mobile version