Penarikan Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris 2015 atas perubahan iklim telah menimbulkan ketidakpastian bagi komitmen Indonesia terhadap transisi energi baru terbarukan (EBT). Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, mengungkapkan kekhawatiran ini, menyatakan bahwa komitmen Indonesia terhadap EBT kini berada dalam posisi dilema.
Bahlil mempertanyakan keberlanjutan komitmen terhadap Perjanjian Paris setelah AS, salah satu negara penggagas utama perjanjian tersebut, menarik diri. “Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri,” ujarnya. Ia menekankan bahwa AS memiliki peran besar dalam kesepakatan internasional terkait perubahan iklim, sehingga mundurnya AS menimbulkan pertanyaan besar bagi negara-negara lain.
Bahlil juga mengakui bahwa biaya pengembangan EBT lebih tinggi dibandingkan energi fosil. Namun, ia menegaskan bahwa kedaulatan energi tidak harus berarti mengganti seluruh energi menjadi EBT. Indonesia, menurutnya, masih menghitung potensi energi hijau dari berbagai sumber, termasuk matahari, air, geothermal, batubara, dan angin.
Pernyataan Bahlil ini menuai kritik. Fahmy Radhi, pengamat energi Universitas Gadah Mada (UGM), menganggap pernyataan tersebut bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto mengenai target zero emission pada tahun 2060. Fahmy menekankan bahwa pencapaian target tersebut membutuhkan penggunaan energi terbarukan sepenuhnya untuk pembangkit listrik dan peralihan ke kendaraan listrik.
“Kendaraan bermotor itu harus beralih ke kendaraan listrik, pabrik itu harus ada pengolahan limbah tadi, asap juga harus dikurangi, sehingga akan mencapai zero carbon. Kalau Bahlil masih ingin mengembangkan fosil, artinya target zero carbon 2060 tidak akan tercapai,” tegas Fahmy.
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menambahkan bahwa di Indonesia masih banyak perdebatan mengenai jenis EBT yang tepat. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan potensi daerah dan dampak sosial-ekonomi. Penerapan prinsip keadilan sangat penting, agar transisi energi tidak menimbulkan konflik lahan atau penggusuran.
Bondan juga menyoroti lemahnya tekanan global dan kebijakan yang masih semrawut di Indonesia setelah penarikan AS dari Perjanjian Paris. Ia menilai fokus energi terbarukan di Indonesia menjadi suram, terutama karena Undang-Undang Energi masih memasukkan nuklir sebagai energi baru terbarukan.
Fokus Energi Terbarukan Indonesia Makin Suram
Dilema negara berkembang seperti Indonesia pasca penarikan AS dari Perjanjian Paris dinilai wajar oleh Bondan. Namun, ia menekankan pentingnya kerjasama dengan negara lain dan meninggalkan energi fosil. “Jadi ya tinggalkan itu energi-energi fosil, batu bara, dan segala macam yang masih terus dipakai,” tegas Bondan.
Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menargetkan pemanfaatan EBT, capaiannya masih jauh dari target. Pada akhir 2023, bauran EBT dalam bauran energi nasional hanya mencapai 13,29 persen, jauh di bawah target 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. KEN bahkan menurunkan target menjadi 17-19 persen pada 2025.
Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan peningkatan bauran energi fosil dan pasokan listrik dari PLTU. IESR menilai transisi energi Indonesia berada di persimpangan jalan antara kepentingan ekonomi-politik industri fosil dan peralihan ke energi terbarukan. Ketidakjelasan arah ini sudah terlihat sebelum penarikan AS dari Perjanjian Paris.
Perlunya Gerakan Revolusioner
Fahmy Radhi menekankan perlunya gerakan revolusioner untuk penerapan energi terbarukan di Indonesia. Ia menyarankan regulasi yang memaksa PLN meninggalkan batubara secara bertahap dan mewajibkan pengembangan EBT dengan cara tertentu. Regulasi juga harus memaksa perusahaan tambang mengalokasikan sebagian produksinya untuk pengembangan EBT.
Tanpa gerakan revolusioner, kata Fahmy, kegagalan transisi energi di era Jokowi akan terulang di era Prabowo. Target bebas emisi Prabowo, tanpa tindakan nyata, hanya akan menjadi janji kosong.
Kesimpulannya, penarikan AS dari Perjanjian Paris telah memperparah situasi yang sudah ada sebelumnya. Indonesia membutuhkan strategi komprehensif dan terintegrasi yang meliputi kebijakan yang kuat, investasi yang signifikan, dan perubahan perilaku masyarakat untuk mencapai transisi energi yang berkelanjutan. Tanpa tindakan revolusioner, target energi terbarukan dan emisi nol akan tetap menjadi mimpi.