Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan potensi kerugian negara mencapai Rp 11,7 triliun akibat dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada 11 debitur. Penyelidikan kasus ini telah berlangsung sejak Maret 2024.
Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sokmo, mengumumkan hal tersebut pada Senin (3/3/2025) di Gedung Merah Putih, Jakarta. Ia menjelaskan bahwa total kredit yang diberikan dan berpotensi merugikan negara mencapai angka fantastis tersebut.
Lima Tersangka Sudah Ditetapkan
Meskipun Budi tidak menyebutkan identitas 11 debitur tersebut, KPK telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Dwi Wahyudi (Direktur Pelaksana I LPEI), Arif Setiawan (Direktur Pelaksana IV LPEI), dan tiga debitur dari PT Petro Energy: Jimmy Masrin, Newin Nugroho, dan Susy Mira Dewi Sugiarta.
Identitas debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan akan diumumkan selanjutnya oleh pihak KPK. Proses hukum akan terus berlanjut untuk mengungkap seluruh jaringan dan kerugian yang ditimbulkan.
Modus Operandi dan Peran Tersangka
Kasus ini terungkap karena LPEI diduga memberikan fasilitas kredit kepada PT Petro Energy meskipun perusahaan tersebut dinilai tidak layak. Direksi LPEI diduga mengabaikan prosedur dan melakukan pembiaran atas tindakan ini.
Lebih lanjut, direksi LPEI diduga tidak melakukan inspeksi terhadap jaminan atau agunan yang diajukan PT Petro Energy. Bahkan, kontrak palsu yang dibuat PT Petro Energy untuk mendapatkan kredit tersebut diketahui oleh direksi LPEI, namun diabaikan.
Kredit Pertama dan Top Up yang Bermasalah
KPK menemukan bahwa LPEI mencairkan kredit pertama kepada PT Petro Energy sebesar Rp 229 miliar meskipun adanya peringatan dari pihak internal. Meskipun sudah ada laporan dari bawahan terkait ketidaklayakan PT Petro Energy, direksi tetap menyetujui pencairan dana.
Tidak hanya itu, PT Petro Energy juga diduga menerima top up kredit sebesar Rp 400 miliar dan Rp 200 miliar setelah pencairan pertama. KPK menilai bahwa PT Petro Energy sama sekali tidak berhak atas tambahan kredit tersebut.
Dugaan Penggunaan Kode “Uang Zakat”
Terungkap informasi bahwa direksi LPEI menggunakan kode “uang zakat” untuk meminta jatah persentase tertentu dari debitur. Hal ini menunjukkan adanya dugaan praktik suap dan korupsi yang sistematis.
Besaran jatah yang diminta pun bervariasi, antara 2,5% hingga 5% dari total kredit yang diberikan. Praktik ini semakin memperkuat dugaan adanya penyimpangan yang merugikan negara.
Dampak dan Langkah Ke Depan
Kasus ini tidak hanya menimbulkan kerugian finansial yang besar, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan negara. KPK berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan menjerat seluruh pihak yang terlibat.
Langkah selanjutnya adalah penyelesaian proses hukum terhadap para tersangka, serta upaya untuk mengembalikan kerugian negara. Pentingnya pengawasan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara juga perlu ditekankan agar kasus serupa tidak terulang.
Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan efek jera dan menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar selalu menaati aturan dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.