Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, mengajukan pertanyaan menarik kepada para santri Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Purworejo, Jawa Tengah, pada Senin (10/3/2025). Pertanyaan tersebut berkaitan dengan dua kasus yang sempat menjadi sorotan publik: kelangkaan elpiji 3 kg dan kasus oplosan bensin Pertamax.
Dengan gaya retorik yang khas, Bahlil menantang para santri untuk mengingat siapa menteri yang bertanggung jawab atas kedua kasus tersebut. Ia menanyakan hal ini secara langsung, menciptakan interaksi dinamis dengan audiensnya.
Kehadiran Bahlil dan pimpinan Golkar di pondok pesantren tersebut, menunjukkan upaya pendekatan kepada masyarakat luas. Pertanyaan yang diajukan bukan sekadar basa-basi, melainkan merupakan bagian dari strategi komunikasi politik yang bertujuan untuk menguji pemahaman publik terhadap isu-isu strategis.
Isu Kelangkaan Elpiji 3 Kg dan Oplosan Pertamax
Kedua kasus tersebut, kelangkaan elpiji 3 kg dan pencampuran bahan bakar Pertamax, memicu keresahan di masyarakat. Kelangkaan elpiji berdampak langsung pada keterjangkauan masyarakat terhadap kebutuhan pokok, sementara kasus Pertamax menunjukkan adanya potensi pelanggaran hukum dan kerugian konsumen.
Bahlil, dalam kesempatan tersebut, menjelaskan upayanya untuk memastikan subsidi pemerintah sampai ke tangan rakyat. Ia menekankan pentingnya pengawasan dan penindakan terhadap oknum-oknum yang menyalahgunakan subsidi, baik dalam distribusi elpiji maupun penjualan BBM bersubsidi.
Harga elpiji 3 kg yang seharusnya terjangkau, seringkali melebihi harga eceran tertinggi (HET). Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perilaku nakal dari oknum distributor atau pangkalan. Bahlil berkomitmen untuk menata sistem distribusi agar subsidi tepat sasaran dan harga tetap terjangkau.
Upaya Penataan Subsidi Pemerintah
Bahlil menjelaskan bahwa subsidi pemerintah untuk elpiji mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp 86 triliun per tahun. Angka tersebut menunjukkan betapa besarnya komitmen pemerintah untuk membantu masyarakat kurang mampu. Subsidi BBM pun mencapai angka Rp 150 triliun. Jumlah yang sangat signifikan ini menuntut pengawasan yang ketat agar tidak disalahgunakan.
Ia mencontohkan harga elpiji 3 kg yang seharusnya maksimal Rp 18.000, seringkali dijual lebih mahal. Hal ini terjadi karena adanya selisih harga yang signifikan antara harga beli dari pemerintah dengan harga jual kepada masyarakat.
Bahlil mengungkapkan adanya mafia yang berusaha menghalangi distribusi gas murah ke rakyat. Oknum-oknum tersebut meraup keuntungan dengan menjual elpiji dengan harga di atas HET. Oleh karena itu, upaya penataan distribusi dan penegakan hukum sangatlah penting untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Bahlil mengajak masyarakat untuk mendukung upaya pemerintah dalam menata sistem subsidi. Ia menekankan bahwa subsidi tersebut diberikan untuk membantu rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab. Dengan demikian, perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan penyalahgunaan subsidi.
Kesimpulannya, pertanyaan Bahlil kepada para santri bukan hanya sebuah pertanyaan retorik, melainkan sebuah pernyataan mengenai komitmennya dalam memberantas korupsi dan memastikan keadilan distribusi subsidi di Indonesia. Pernyataan ini juga menunjukkan upaya peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara.