Eks Jenderal TNI Kritik Larangan Bisnis Prajurit: Pensiun Rp 5,2 Juta

Mayjen TNI (Purn) Rodon Pedrason menyoroti larangan bagi prajurit TNI, khususnya bintara dan tamtama, untuk berbisnis. Ia berpendapat larangan tersebut tidak adil mengingat pensiun mereka hanya 70 persen dari gaji pokok, tanpa adanya sumber penghasilan lain selama berdinas.

Rodon mencontohkan mantan anggotanya yang berwirausaha bakso setelah pensiun. Hal ini menurutnya menjadi solusi atas minimnya penghasilan pensiun. Kondisi ini diperparah dengan minimnya kesempatan kerja lain bagi para prajurit setelah masa dinasnya berakhir.

Lebih lanjut, Rodon mengungkapkan rendahnya jumlah uang pensiun yang diterima purnawirawan TNI, termasuk bagi para jenderal bintang empat. Ia menyebut seorang Jenderal bintang empat hanya menerima Rp 5,2 juta per bulan setelah pensiun. Jumlah tersebut dinilai terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama bagi mereka yang masih memiliki tanggungan keluarga.

Rendahnya Pensiun TNI dan Urgensi Kewirausahaan

Rendahnya pendapatan pensiun ini mendorong Rodon untuk menekankan pentingnya pengembangan jiwa kewirausahaan bagi prajurit TNI sejak masih aktif berdinas. Keterampilan berbisnis dinilai krusial untuk keberlangsungan hidup mereka setelah pensiun. Kemampuan tersebut dapat menjadi jaring pengaman finansial di masa mendatang.

Banyak prajurit, menurut Rodon, baru terdorong untuk berkuliah di akhir masa tugasnya. Namun, kesempatan untuk naik pangkat tetap sulit didapatkan meskipun mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. Kondisi ini dinilai ironis dan menjadi salah satu alasan perlunya opsi lain untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit.

Dampak Larangan Berbisnis Bagi Prajurit

Larangan berbisnis bagi prajurit aktif, sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 huruf c UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, dinilai kontraproduktif. Larangan tersebut justru menghambat kemandirian ekonomi prajurit dan memperparah kesulitan ekonomi setelah pensiun.

TNI sendiri telah mengusulkan revisi UU tersebut, dengan fokus pada perubahan yang membolehkan prajurit berbisnis. Laksamana Muda Kresno Buntoro, Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI, menjelaskan bahwa yang seharusnya dilarang adalah institusi TNI untuk berbisnis, bukan prajuritnya secara individu.

Revisi UU TNI dan Masa Depan Kesejahteraan Prajurit

Revisi UU TNI ini menjadi sorotan penting, khususnya terkait pasal yang melarang prajurit aktif untuk berbisnis. Revisi ini diharapkan dapat memberikan solusi atas permasalahan kesejahteraan prajurit, khususnya bagi bintara dan tamtama yang memiliki keterbatasan akses ekonomi pasca pensiun.

Dengan memberikan kesempatan kepada prajurit untuk berwirausaha, diharapkan mereka dapat lebih siap menghadapi masa pensiun dan memiliki penghasilan tambahan selama masih aktif berdinas. Hal ini juga dapat mengurangi beban pemerintah dalam memberikan tunjangan pensiun yang tergolong minim.

Lebih jauh lagi, peningkatan kesejahteraan prajurit dapat berdampak positif pada motivasi dan kinerja mereka. Prajurit yang merasa terjamin secara ekonomi akan lebih fokus pada tugas dan tanggung jawabnya. Revisi UU TNI ini diharapkan menjadi langkah awal yang signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan dan masa depan para prajurit TNI.

Exit mobile version