Polemik terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Subholding Pertamina yang berujung pada penemuan BBM oplosan terus bergulir. Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Haryadi, menyatakan penolakan terhadap pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut tuntas kasus ini. Ia menekankan kepercayaan penuh terhadap proses hukum yang tengah berjalan di Kejaksaan Agung (Kejagung).
Bambang Haryadi menegaskan, “Tidak ada wacana pansus, kami percaya profesionalisme Kejaksaan Agung. Kami tidak masuk di ranah hukum, hukum silakan ditegakkan setegak-tegaknya.” Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan pers pada Jumat, 7 Maret 2025. Ia lebih memilih agar Kejagung fokus mengusut tuntas kasus tersebut tanpa intervensi politik.
Sikap Bambang Haryadi ini berbeda dengan pandangan Wakil Ketua Komisi XII DPR RI lainnya, Sugeng Suparwoto. Sugeng sebelumnya menyatakan wacana pembentukan Pansus untuk mengusut kasus ini. Ia beralasan bahwa isu BBM oplosan menyangkut hajat hidup orang banyak dan membutuhkan pengawasan ketat dari parlemen.
Sugeng Suparwoto menjelaskan, “Kita mau merapatkan internal kita ya, setelah kita memanggil berbagai untuk rapat dengar pendapat dengan pihak-pihak terkait.” Pernyataan ini disampaikan di Kompleks MPR/DPR RI pada Kamis, 6 Maret 2025. Ia menekankan pentingnya koordinasi internal Komisi XII sebelum mengambil keputusan final terkait pembentukan Pansus.
Perbedaan pandangan di internal Komisi XII DPR RI ini menimbulkan pertanyaan mengenai strategi pengawasan parlemen terhadap BUMN, khususnya Pertamina. Meskipun Bambang Haryadi mempercayakan sepenuhnya proses hukum kepada Kejagung, beberapa pihak menilai bahwa pengawasan parlemen tetap diperlukan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Pertamina.
Bambang Haryadi juga berharap agar nama Pertamina tidak terus tercoreng akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab. Ia menyatakan, “Tangkap oknumnya, tapi kita selamatkan dan perbaiki Pertamina agar bisa melayani masyarakat lebih baik lagi.” Hal ini menunjukkan keinginan untuk menjaga reputasi Pertamina sebagai perusahaan energi nasional.
Kasus BBM oplosan ini sendiri telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Banyak yang mempertanyakan bagaimana pengawasan internal Pertamina dan bagaimana hal ini bisa terjadi. Kejadian ini juga memicu pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan pemerintah terhadap BUMN secara umum.
Lebih lanjut, perlu diteliti secara mendalam mengenai sistem internal Pertamina yang memungkinkan terjadinya praktik oplosan BBM. Apakah terdapat kelemahan dalam sistem pengawasan internal atau kurangnya koordinasi antar bagian? Penting untuk dilakukan evaluasi menyeluruh untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Selain itu, perlu juga dikaji bagaimana peran pemerintah dalam mengawasi kinerja BUMN agar kasus serupa tidak kembali terjadi.
Kesimpulannya, perdebatan mengenai pembentukan Pansus untuk mengusut kasus BBM oplosan di Pertamina mencerminkan perbedaan pandangan di internal Komisi XII DPR RI. Meskipun ada yang mempercayakan sepenuhnya kepada Kejagung, perlu dipertimbangkan pentingnya peran pengawasan parlemen untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas Pertamina serta mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.