Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI, Sarmuji, menyatakan penolakannya terhadap rencana Badan Pelaksana Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) untuk mengakuisisi PT Sri Rejeki Isman (Sritex) pasca-pailit. Ia khawatir langkah tersebut akan menghambat produktivitas Danantara.
Sarmuji berpendapat, permasalahan Sritex tidak seharusnya menjadi beban pemerintah sepenuhnya. Mengalihkan anggaran Danantara untuk menyelamatkan Sritex, menurutnya, akan mengorbankan tujuan utama Danantara sebagai lembaga investasi yang berorientasi profit.
“Kalau nanti lebih titik beratnya sosial, nanti kasihan Danantaranya, uang yang sudah dialokasikan Danantara nanti menjadi tidak produktif. Karena beban yang seharusnya dikerjakan oleh pihak lain, dalam hal ini oleh pemerintah,” tegas Sarmuji di Kompleks MPR/DPR RI, Jumat (7/3/2025).
Ia menekankan pentingnya Danantara tetap fokus pada aspek bisnis dan leverage economy, sesuai dengan tujuan awal pendiriannya. Investasi yang dilakukan harus menghasilkan keuntungan, bukan hanya menyelesaikan masalah sosial.
“Danantara sudah digariskan bahwa mereka orientasinya pertama adalah keuntungan dan kedua adalah leverage economy. Jadi, investasi ke Danantara harus juga memperhatikan aspek bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan,” ujar Sarmuji.
Solusi Alternatif untuk Karyawan Sritex
Sebagai alternatif, Sarmuji mengusulkan agar pemerintah memfokuskan upaya pada penempatan kembali ribuan karyawan Sritex yang terdampak pailit. Ia menyoroti keahlian mayoritas karyawan Sritex yang berada di bidang konveksi.
Pemerintah, menurut Sarmuji, dapat memfasilitasi para karyawan ini untuk berwirausaha, baik secara mandiri maupun berkelompok. Dengan demikian, keahlian mereka dapat tetap termanfaatkan dan menciptakan lapangan kerja baru.
“Misalkan pemerintah memberikan jembatan supaya mereka bisa berwirausaha sesuai dengan keahliannya, keahliannya mereka konveksi, misalkan kalau memungkinkan kan kenapa tidak ditingkatkan keahliannya mereka bergerak di bidang konveksi tetapi bisa berkelompok atau sendiri-sendiri secara mandiri,” saran Sarmuji.
Ia menilai solusi ini lebih efektif dibandingkan membebani BUMN untuk menyerap seluruh karyawan Sritex yang jumlahnya mencapai belasan ribu orang. Tidak ada satu pun BUMN, menurutnya, yang mampu menanggung beban tersebut.
“Kalau karyawannya mungkin bisa diakomodasi dengan banyak cara, ya. Jadi, kalau semuanya diakomodasi oleh BUMN, rasa-rasanya tidak ada satu pun BUMN yang sanggup menampung belasan ribu orang yang saat ini tiba-tiba saja tidak mendapatkan pekerjaan,” pungkas Sarmuji.
Perlu dipertimbangkan pula aspek hukum dan regulasi terkait pailitnya Sritex. Proses hukum yang sedang berjalan perlu dihormati dan diikuti, agar tidak terjadi pelanggaran hukum dan potensi kerugian lebih lanjut. Transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus Sritex juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Selain itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perlindungan pekerja di Indonesia, khususnya dalam menghadapi situasi pailit perusahaan. Sistem jaring pengaman sosial yang lebih kuat dan efektif perlu dibangun agar dampak sosial ekonomi dari kejadian serupa dapat diminimalisir di masa mendatang.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah harus terukur, terencana, dan berkelanjutan, sehingga tidak hanya memberikan solusi jangka pendek, tetapi juga menciptakan dampak positif jangka panjang bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Kesimpulannya, penolakan Sarmuji terhadap akuisisi Sritex oleh Danantara didasarkan pada kekhawatiran akan dampak negatif terhadap produktivitas Danantara dan perlunya solusi yang lebih terarah dan berkelanjutan untuk karyawan Sritex. Pemerintah perlu mempertimbangkan solusi alternatif yang lebih fokus pada pemberdayaan pekerja dan peningkatan sistem perlindungan pekerja di Indonesia.