Peneliti senior Imparsial, Al Araf, mengungkapkan data Lemhanas 2023 yang menunjukkan terdapat 2.500 prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil. Angka ini perlu diverifikasi ulang oleh DPR dan publik untuk memastikan keakuratannya. “Data Babinkum TNI menyebutkan ini waktu saya diskusi di Lemhanas 2023, itu 2.500 prajurit duduk di jabatan sipil. Ini tolong di-crosscheck kembali karena saya pakai data waktu saya presentasi Babinkum pada masa tersebut,” ungkap Al Araf dalam Rapat Dengar Pendapat Umum pembahasan RUU TNI bersama Komisi I DPR RI pada Selasa (4/3/2025).
Al Araf menyarankan agar prajurit yang ingin berkarier di sektor sipil mengambil pensiun dini. Ia tegas menolak usulan pengembalian dwifungsi TNI seperti pada era Orde Baru sebagai solusi atas penumpukan perwira tinggi. Menurutnya, pensiun dini atau perbaikan sistem meritokrasi merupakan solusi yang lebih tepat. “Saya memahami perdebatan di internal karena ada penumpukan di tingkat kolonel, dan tidak ada jawaban kemudian dilempar keluar, soal penumpukan perwira tinggi bisa dilakukan berbagai cara dengan pensiun dini atau perbaikan merit sistem bukan dengan dwifungsi TNI,” tegasnya.
Meskipun mengakui adanya situasi darurat tertentu yang membutuhkan keterlibatan militer di sektor sipil, seperti bencana alam, Al Araf menekankan perlunya keterlibatan tersebut tetap terbatas dan hanya sebagai opsi terakhir. Ia mengkritik keterlibatan TNI yang berlebihan di bidang sipil, seperti di sektor pertanian dan ketahanan pangan, meski kapasitas sipil sebenarnya sudah memadai. “Dalam konteks keadaan darurat bencana atau darurat tertentu tapi terbatas,” jelasnya. “Tapi yang terjadi pada saat ini, banyak kapasitas sipil yang masih bisa menangani soal pangan, tapi militer terlibat dalam ketahanan pangan. Itu yang kita sebut dengan sekuritisasi,” tambahnya.
Militerisasi Sipil dan Ancaman Otoritarianisme
Al Araf memperingatkan bahaya “sekuritisasi” akibat terlalu banyaknya keterlibatan militer di sektor sipil. Ia mengaitkan hal ini dengan potensi negara demokrasi bergeser ke arah otoritarianisme. Ia mendesak Komisi I DPR RI untuk tidak menormalisasi militerisasi sipil dalam revisi UU TNI. “Jangan lakukan normalisasi militer di kehidupan sipil di negara demokrasi, kalau itu dilakukan itu akan mengarah ke arah kehidupan sekuritisasi dan sekuritisasi cenderung ke arah otoritarianisme,” pesannya.
Analisis Lebih Lanjut Mengenai Isu Dwifungsi TNI
Perdebatan mengenai dwifungsi TNI merupakan isu kompleks yang telah berlangsung lama. Selama masa Orde Baru, TNI memiliki peran ganda, baik dalam bidang militer maupun sipil. Sistem ini dinilai banyak pihak sebagai penyebab pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Setelah reformasi, upaya untuk memisahkan peran TNI dari sektor sipil terus dilakukan, namun tampaknya masih terdapat tantangan signifikan.
Penumpukan perwira tinggi di tubuh TNI juga menjadi masalah yang membutuhkan perhatian serius. Selain pensiun dini, perbaikan sistem karir dan meritokrasi menjadi solusi yang potensial untuk mengatasi ketidakseimbangan dan meminimalisir potensi ketidakpuasan di kalangan perwira. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses promosi dan penempatan jabatan juga sangat diperlukan.
Keterlibatan TNI dalam sektor pertanian dan ketahanan pangan juga patut dikaji lebih lanjut. Apakah keterlibatan tersebut memang diperlukan dan efektif, atau justru menghambat perkembangan sektor sipil? Kajian yang komprehensif diperlukan untuk menentukan batas yang jelas antara peran TNI dan sektor sipil di bidang ini.
Kesimpulan
Pernyataan Al Araf mengungkapkan kekhawatiran yang signifikan terkait potensi militerisasi sipil di Indonesia. Perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan diskusi yang mendalam untuk mencari solusi yang seimbang antara peran TNI dan sektor sipil, serta menjamin tetap berjalannya demokrasi di Indonesia.