KontraS, melalui Kepala Divisi Hukumnya Andrie Yunus, secara tegas menolak revisi Undang-Undang (UU) TNI dan UU Polri. Penolakan ini disampaikan melalui surat terbuka kepada Komisi I dan Komisi III DPR RI. Andrie menyatakan bahwa substansi revisi kedua UU tersebut tidak menjawab permasalahan mendasar yang telah lama mengakar di tubuh TNI dan Polri.
Salah satu poin utama penolakan KontraS terhadap revisi UU Polri adalah rencana penambahan wewenang intelijen dan keamanan bagi Polri. Andrie Yunus khawatir hal ini akan berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan badan intelijen negara lainnya, khususnya dalam hal penggalangan informasi. “Itu berpotensi bertabrakan dengan kewenangan yang dimiliki badan intelijen negara atau kemudian mengenai perihal penggalangan,” tegas Andrie.
Sementara itu, terkait revisi UU TNI, KontraS menolak perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI. Andrie menilai, jika revisi ini disahkan, pemerintahan saat ini akan berupaya mengembalikan sistem dwifungsi TNI seperti pada era Orde Baru. “Hal ini kami menilai sangat bermasalah dan berpotensi mengembalikan pemerintahan pada rezim orde baru atau rezim Soeharto selama 32 tahun,” ungkapnya dengan tegas.
Kekhawatiran KontraS Terhadap Revisi UU TNI dan Polri
KontraS memiliki sejumlah kekhawatiran serius terhadap revisi UU TNI dan Polri. Mereka menilai bahwa revisi tersebut justru akan memperlebar celah penyalahgunaan kekuasaan dan melemahkan kontrol sipil terhadap institusi keamanan. Hal ini dinilai akan berdampak buruk terhadap demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
Perluasan Wewenang Polri
Penambahan wewenang intelijen dan keamanan pada Polri, menurut KontraS, berpotensi memicu konflik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga intelijen lainnya. Hal ini dapat menyebabkan inefisiensi dan bahkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Sistem pengawasan yang lemah dapat memperparah situasi tersebut.
Kembalinya Dwifungsi TNI
Perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif TNI dipandang KontraS sebagai langkah mundur dalam reformasi sektor keamanan. Hal ini berpotensi mengembalikan sistem dwifungsi TNI yang identik dengan era Orde Baru, di mana militer memiliki peran yang signifikan dalam politik dan pemerintahan. Sistem ini dinilai telah terbukti menimbulkan berbagai pelanggaran HAM dan menghambat perkembangan demokrasi.
Minimnya Partisipasi Publik
KontraS juga mengkritik DPR atas minimnya keterlibatan masyarakat dan ahli dalam proses pembahasan revisi UU TNI dan Polri. Mereka merasa tidak dilibatkan secara substansial, hanya sebagai ‘stempel’ persetujuan. KontraS menekankan pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses pembuatan undang-undang yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
KontraS menegaskan penolakannya terhadap revisi UU TNI dan Polri jika substansi revisi tersebut tidak menjawab persoalan reformasi sektor keamanan, malah menambah kewenangan, mengurangi kontrol dan pengawasan terhadap institusi militer. Mereka meminta agar pembahasan revisi dihentikan dan dikaji ulang secara menyeluruh dengan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas dan substansial.
Secara keseluruhan, KontraS mendesak DPR untuk mempertimbangkan kembali revisi UU TNI dan Polri. Revisi yang tidak mempertimbangkan aspek hak asasi manusia dan demokratisasi berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan. Partisipasi masyarakat dan keahlian yang kredibel sangat diperlukan dalam proses pembuatan kebijakan yang sensitif seperti ini.