Ramadan di Negeri Salju: Kisah Mahasiswa Indonesia Berpuasa di Polandia

Ramadan tahun ini terasa istimewa bagi Nugraha Akbar Nurrochmat, mahasiswa S3 di Institute of Forestry, Warsaw University of Life Sciences (SGGW), Polandia. Ia menjalani ibadah puasa di Warsawa, sebuah kota di Eropa Tengah yang mengalami empat musim.

Perbedaan signifikan dirasakan Nugraha dibandingkan dengan pengalaman berpuasa di Indonesia. Durasi puasa sangat bergantung pada musim. Tahun lalu, saat Ramadan jatuh di musim panas, puasanya mencapai 17 jam. Namun, tahun ini, di musim semi, durasi puasanya mendekati Indonesia, sekitar 14 jam. “Puasa di sini cukup unik dibandingkan di negara Indonesia, karena waktu sahur dan berbukanya tergantung musim. Tahun lalu, saat puasa jatuh pada musim panas, puasa bisa mencapai 17 jam. Sedangkan untuk tahun ini, karena puasa jatuh pada musim semi, waktu berpuasa tidak jauh berbeda dengan di Indonesia yaitu 14 jam,” tuturnya.

Perjalanan Menuju Masjid dan Tarawih Berjamaah

Salah satu tantangan yang dihadapi Nugraha adalah jarak tempuh ke masjid. Jumlah masjid di Polandia terbatas, terutama di luar kota-kota besar. Beruntung, Nugraha tinggal di Warsawa, yang memiliki sekitar tiga masjid besar. Namun, perjalanan dari asramanya ke masjid terdekat tetap memakan waktu sekitar 30 menit dengan bus.

Mahasiswa Indonesia lainnya yang tinggal di luar Warsawa bahkan harus menempuh perjalanan berjam-jam untuk salat tarawih. Mereka seringkali menghabiskan waktu berbuka puasa, tarawih, sahur, dan salat subuh di masjid sebelum kembali ke tempat tinggal masing-masing.

Minimnya jumlah masjid di Polandia justru mempererat tali silaturahmi antar mahasiswa Indonesia. Mereka seringkali berkumpul untuk berbuka puasa dan salat tarawih bersama. “Kami hanya berjumlah sekitar 200 orang yang tersebar di seluruh kota di Polandia. Namun karena jumlahnya sedikit, ikatan kami jadi lebih kuat dan kami cukup mengenal satu sama lainnya,” jelas Nugraha yang sudah dua tahun tinggal di Polandia.

Selain kegiatan bersama sesama mahasiswa Indonesia, mereka juga berbaur dengan mahasiswa muslim dari negara lain seperti Pakistan dan Turki untuk berbuka puasa dan kegiatan keagamaan lainnya. Peran Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Polandia dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Polandia juga sangat penting dalam memfasilitasi kegiatan keagamaan, termasuk buka puasa bersama dan salat Idul Fitri.

Tantangan Mencari Bahan Makanan

Kangen rumah adalah perasaan yang tak terhindarkan bagi Nugraha. Ia merindukan keluarga dan cita rasa masakan Indonesia. “Yang paling dikangenin sudah pasti keluarga besar, walaupun Alhamdulillah saat ini saya ditemani istri, jadi perjuangan merantau bisa terasa lebih ringan. Kami hanya bisa komunikasi dengan keluarga via video call di HP. Selain itu, kami cukup kangen masakan Indonesia seperti martabak, sate, coto Makassar, dll.,” kenangnya.

Meskipun bisa memasak masakan Indonesia, mencari bahan-bahan masakan Asia di Polandia menjadi tantangan tersendiri. Nugraha dan istrinya harus menempuh perjalanan sekitar satu jam untuk mencapai toko Asia yang menyediakan bahan-bahan seperti cabai dan daging halal.

Namun, Nugraha bersyukur karena ditemani istrinya, Mudrika Qanitha, yang juga menempuh studi S3 di Polandia dengan beasiswa pemerintah Polandia, di jurusan yang sama. Dukungan pasangannya membuatnya lebih mudah melewati tantangan menjalani Ramadan di negeri orang.

Pengalaman Nugraha menunjukkan bahwa menjalani Ramadan di luar negeri, khususnya di negara dengan budaya dan akses yang berbeda, menghadirkan tantangan dan kenangan tersendiri. Namun, semangat beribadah dan kebersamaan dengan sesama muslim tetap menjadi sumber kekuatan dan penghibur di tengah kerinduan akan tanah air.

Kisah Nugraha juga mencerminkan bagaimana mahasiswa Indonesia di luar negeri tetap menjaga identitas dan menjalankan ibadah dengan penuh semangat, meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan.

Exit mobile version