Jejak Daendels: Mengungkap Kisah Pembangunan Jalan Raya Pantura

Jalan Pantai Utara (Pantura) merupakan tulang punggung konektivitas di Pulau Jawa, berperan krusial dalam mobilitas penduduk dan distribusi barang. Sebelum era jalan tol Trans-Jawa, Pantura menjadi jalur utama penghubung kota-kota besar di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Perannya begitu vital bagi perekonomian dan kehidupan masyarakat di sepanjang jalur tersebut.

Sejarah Pantura berakar panjang hingga era kolonial Belanda. Pembangunannya dimulai awal abad ke-19 atas perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Tujuannya jelas: memperlancar perdagangan dan memperkuat pertahanan dari ancaman Inggris. Namun, proyek ambisius ini dibangun dengan sistem kerja paksa (kerja rodi), meninggalkan luka sejarah yang mendalam bagi rakyat pribumi.

Buku “Dua Abad Jalan Raya Pantura: Sejak Era Kerajaan Mataram Islam hingga Orde Baru” karya Endah Sri Hartatik, menjelaskan bahwa Pantura dihuni masyarakat pesisir dan petani dengan karakter unik, berbeda dengan masyarakat pedalaman. Istilah “Pantura” sendiri popularitasnya meningkat di akhir 1980-an, dipopulerkan oleh media seperti surat kabar Kedaulatan Rakyat yang mengklasifikasikan daerah-daerah di pesisir utara Jawa sebagai wilayah Pantura.

Sejarah Jalan Pantura: Lebih dari Sekadar Jalan Raya Pos

Pantura bukan hanya jalur transportasi, tetapi juga pusat aktivitas ekonomi. Ia menghubungkan wilayah pedalaman dengan pelabuhan-pelabuhan penting. Buku “Napak Tilas Jalan Daendels” karya Angga Indrawan, menekankan peran vital Pantura dalam mengangkut hasil pertanian dan perkebunan, serta mempercepat mobilisasi pasukan dan barang antara Batavia (Jakarta) dan Surabaya.

Pembangunan Jalan Pantura tahun 1808 oleh Daendels, sering dikaitkan dengan kerja rodi. Proyek ini dibagi dua tahap. Tahap pertama, menghubungkan Pelabuhan Merak dengan Ujung Kulon (1808), kemudian dilanjutkan dari Anyer ke Batavia hingga Merak. Tahap kedua, menghubungkan Pandeglang ke Semarang, berlanjut hingga Semarang-Demak. Baru pada 1857, rakyat diperbolehkan menggunakan jalan ini (Surat Keputusan No. 4, 19 Agustus 1857).

Sering terjadi miskonsepsi yang mengidentikkan Jalan Raya Pantura dengan Jalan Raya Pos. Padahal keduanya berbeda. Jalan Raya Pos membentang dari Anyer hingga Panarukan, namun sebagian besar melewati pedalaman Jawa Barat (Depok, Bogor, Bandung, Sumedang), sehingga tidak sepenuhnya merupakan jalur Pantura.

Jalan Raya Pos dan Perannya di Jawa Barat

Menurut Felia Ayu Safira, pemandu wisata Tourist Information Center (TIC) Kota Bandung, Jalan Raya Pos atau Groote Postweg sangat berpengaruh pada distribusi dan mobilisasi, khususnya di Jawa Barat. Jalur ini difokuskan untuk transportasi dan pengangkutan hasil bumi dari dataran tinggi Priangan (kopi, kina, teh). Hasil bumi diangkut menggunakan pedati melalui Jalan Raya Pos (sekarang Jalan Asia Afrika).

RA Wiranatakusumah II mendirikan pusat pemerintahan dekat Jalan Raya Pos dan menetapkan titik 0 kilometer Kota Bandung (sekarang kantor Dinas Bina Marga Jawa Barat). Ini menunjukkan betapa pentingnya Jalan Raya Pos bagi pemerintahan kolonial di Jawa Barat, meskipun berbeda dengan peran Jalan Pantura yang lebih luas dan terfokus pada jalur pesisir.

Jalan Pantura di Jawa Tengah telah ada jauh sebelum Jalan Raya Pos. Perkembangannya semakin pesat di abad ke-20 dengan modernisasi transportasi. Kendaraan bermotor (mobil, motor, bus, truk) mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial di sepanjang jalur tersebut. Di Jawa Tengah, Pantura menjadi penghubung utama antara Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta, menjadikannya jalur terpenting di Pulau Jawa.

Kementerian PUPR menyebutkan Jalan Pantura sepanjang 1.161,47 km, membentang dari Merak (Banten) hingga Banyuwangi (Jawa Timur), melewati Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebagai jalur arteri nasional, Pantura dipenuhi kendaraan besar (truk dan bus), berperan utama dalam distribusi barang dan mobilitas masyarakat. Sejarah panjang dan perannya yang vital menjadikan Pantura lebih dari sekadar jalan, ia adalah saksi bisu sejarah dan urat nadi perekonomian Pulau Jawa.

Perlu diingat, informasi mengenai panjang jalan dan klasifikasinya bisa berubah seiring waktu dan perkembangan infrastruktur. Penting untuk selalu merujuk pada sumber informasi terbaru dari instansi yang berwenang seperti Kementerian PUPR untuk data yang akurat dan terkini.

Exit mobile version