Banjir besar melanda wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) pada awal Maret 2025, tepat di awal bulan Ramadan. Ribuan rumah terendam dengan ketinggian air bervariasi, mulai dari 0,5 hingga 4 meter di beberapa titik. Peristiwa ini menimbulkan kerugian besar dan penderitaan bagi masyarakat.
Hujan deras dengan intensitas lebih dari 110 mm/hari di hulu DAS Ciliwung dan sekitarnya menjadi penyebab utama bencana ini. Namun, faktor manusia (antropogenik) juga berperan signifikan memperparah dampaknya. Perubahan tata guna lahan, penyempitan sungai akibat pembangunan, dan sistem drainase perkotaan yang buruk memperburuk situasi.
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia menyampaikan belasungkawa dan empati kepada para korban. Sebagai bentuk kepedulian, PPI Dunia telah menggalang dana untuk membantu meringankan beban masyarakat terdampak. “Sebagai bentuk kepedulian, PPI Dunia telah menggalang dana untuk membantu masyarakat terdampak,” tulis PPI Dunia dalam keterangan tertulis.
Sekelumit Masalah Banjir Jabodetabek: Analisis PPI Dunia
PPI Dunia melakukan analisis mendalam terhadap bencana banjir ini, menekankan pentingnya tindakan pencegahan dan solusi jangka panjang. Banjir Jabodetabek bukan hanya masalah curah hujan tinggi, tetapi juga akibat dari pengelolaan lingkungan yang buruk selama bertahun-tahun.
James Zulfan, mahasiswa S3 di Universitas New South Wales, Australia, menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan sangat signifikan. Berdasarkan analisis citra penginderaan jauh BIG, dari tahun 2000 hingga 2017, sekitar 20% tutupan vegetasi berubah menjadi kawasan terbangun. Diperkirakan persentase ini jauh lebih tinggi pada tahun 2025.
Hal ini mengurangi kapasitas daerah resapan air dan mempercepat aliran permukaan ke sungai-sungai utama. “Tentu di tahun 2025 ini perubahan tataguna lahan bisa jadi lebih tinggi dari itu sehingga hal ini mengurangi kapasitas daerah resapan air dan mempercepat laju aliran permukaan ke sungai-sungai utama,” jelas James Zulfan.
Naufal, mahasiswa S3 di University of Leeds, Inggris, menambahkan bahwa curah hujan tinggi di Indonesia menuntut sistem drainase yang lebih baik di daerah hilir. Ia juga menyoroti pentingnya political will dari pemerintah dalam tata ruang dan pengendalian banjir.
Adhie Marhadi, mahasiswa S3 di Hungarian University of Agricultural and Life Sciences dan Koordinator PPI Dunia, menekankan pentingnya aforestasi atau reboisasi, terutama di wilayah hulu sungai seperti Bogor, untuk meningkatkan penyerapan air dan meminimalkan limpasan permukaan.
Ia juga menyoroti pentingnya manajemen sampah yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan perusahaan. Sampah yang menumpuk di saluran air dan sungai menyebabkan penyumbatan dan meningkatkan risiko banjir.
Nugraha Akbar Nurrochmat, mahasiswa S3 di Warsaw University of Life Sciences, Polandia, menambahkan bahwa dibutuhkan pendekatan holistik, baik di hulu maupun hilir sungai. Di hulu, tutupan vegetasi harus dijaga dan ditingkatkan. Pembangunan sumur resapan dan bendungan juga penting.
Di hilir, infrastruktur seperti Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat harus dipelihara. Desain tanggul sungai dan drainase perkotaan perlu ditinjau ulang agar tahan terhadap perubahan iklim dan peningkatan debit sungai.
Program pemeliharaan sungai dari sedimen dan sampah juga krusial, termasuk pengerukan dan pembilasan (flushing) sedimen dari bendung-bendung. Penelitian terbaru menunjukkan pembilasan lebih efektif dan ekonomis daripada pengerukan konvensional.
Pemerintah Perlu Langkah Tepat dan Jangka Panjang
Adhie Marhadi menekankan perlunya kebijakan jangka panjang pemerintah dengan komitmen kuat dari berbagai pemangku kepentingan. Banjir ini harus menjadi momentum untuk perencanaan tata ruang yang berkelanjutan, penguatan sistem drainase, dan pendekatan berbasis ekosistem dalam mitigasi bencana.
PPI Dunia berharap langkah-langkah tepat dapat meminimalkan bencana banjir berulang, sehingga masyarakat dapat hidup lebih aman. PPI Dunia juga akan terus berkontribusi membantu korban bencana di Indonesia.
Kesimpulannya, mengatasi banjir Jabodetabek membutuhkan kolaborasi multipihak dan komitmen jangka panjang. Perbaikan infrastruktur, pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, dan kesadaran masyarakat sangat penting untuk mencegah bencana serupa di masa depan.