Populasi bus dan truk listrik di Indonesia terus meningkat, terutama bus listrik yang banyak digunakan untuk transportasi perkotaan seperti TransJakarta. Namun, perkembangannya masih terhambat oleh kurangnya kesiapan ekosistem pendukung.
Salah satu kendalanya adalah infrastruktur pengisian daya (charging station) yang belum memadai. Kebanyakan charging station dibangun oleh operator bus dan truk listrik sendiri, bukan oleh pemerintah. Hal ini tentu saja meningkatkan biaya operasional dan membatasi perluasan jangkauan.
President Director PT Daimler Commercial Vehicles Indonesia (DCVI), Naeem Hassim, menekankan pentingnya pembangunan ekosistem yang komprehensif untuk mendorong adopsi bus dan truk listrik. Ini bukan hanya tentang penyediaan charging station, tetapi juga perencanaan lokasi dan rute yang strategis.
Tantangan Ekosistem Bus dan Truk Listrik
Perbedaan signifikan antara operasional bus/truk listrik dengan kendaraan penumpang pribadi menjadi tantangan utama. Kendaraan pribadi memiliki pola perjalanan yang lebih terprediksi, memudahkan perencanaan lokasi pengisian daya. Berbeda dengan bus dan truk yang rutenya lebih dinamis dan tidak terpaku pada satu lokasi.
Truk misalnya, bisa saja beroperasi di berbagai kota dalam satu hari. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang matang terkait lokasi charging station agar dapat mendukung mobilitas armada yang luas dan fleksibel.
Naeem menambahkan, kolaborasi antara pemerintah dan pabrikan sangat krusial. Pemerintah berperan dalam menyediakan infrastruktur dan regulasi yang mendukung, sementara pabrikan dapat berkontribusi dalam inovasi teknologi dan penyediaan solusi terintegrasi. Dengan kerja sama ini, pengembangan ekosistem yang komprehensif dapat terwujud.
Solusi dan Kolaborasi
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi terpadu yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal dan non-fiskal untuk mendorong investasi dalam infrastruktur pengisian daya, serta merumuskan regulasi yang jelas dan terukur.
Pabrikan juga memegang peran penting dalam mengembangkan teknologi baterai yang lebih efisien dan terjangkau, serta menyediakan solusi charging yang inovatif dan praktis. Selain itu, program pelatihan dan edukasi bagi pengemudi dan teknisi juga perlu ditingkatkan.
Keterlibatan sektor swasta, seperti penyedia layanan energi dan teknologi informasi, juga sangat diperlukan dalam menciptakan solusi yang terintegrasi. Misalnya, integrasi sistem manajemen energi, platform manajemen armada, dan layanan pemeliharaan yang terintegrasi akan sangat membantu.
Kesimpulan
Indonesia masih membutuhkan langkah-langkah besar untuk mewujudkan ekosistem yang mendukung operasional bus dan truk listrik secara optimal. Keberhasilannya bergantung pada kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pabrikan, dan sektor swasta. Dengan komitmen bersama, target elektrifikasi transportasi di Indonesia dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien.
Sebagai contoh, pengembangan charging station yang terintegrasi dengan sistem manajemen energi dapat membantu memonitor pemakaian energi, mengoptimalkan pengisian daya, dan mengurangi biaya operasional. Hal ini memerlukan investasi yang signifikan, tapi akan memberikan keuntungan jangka panjang.
PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk telah menjadi contoh positif dengan mengoperasikan 20 unit bus listrik CKD (Completely Knocked Down) dengan TKDN lebih dari 40 persen untuk TransJakarta. Keberhasilan ini menunjukkan potensi industri dalam negeri dalam mengembangkan teknologi kendaraan listrik, namun perlu didukung oleh ekosistem yang lebih lengkap.