JAWAPEH.COM, Kediri – Game online kini bukan sekedar push rank, tapi ajang taruhan bagi pelajar di Kediri. Kini, permainan ini dilengkapi dengan “isian” atau taruhan yang membuat mereka semakin bersemangat. Mulai dari nilai receh hingga puluhan ribu, praktik judi ini telah meracuni pelajar dari tingkat SMP hingga SMA.
Fenomena Taruhan di Kalangan Pelajar
Boy (bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas VIII di Kota Kediri, duduk di bangku taman sekolah dengan mata tertuju pada gawainya. Biasanya, dia menghabiskan waktu dengan bermain game online seperti Mobile Legend dan Free Fire.
Namun, belakangan ini, permainan game online tak lagi sekadar adu keterampilan. “Harus ada ‘isian’ agar lebih all out,” ungkap Boy.
Taruhan uang menjadi penyemangat baru, dengan jumlah yang bervariasi mulai dari Rp 3 ribu hingga Rp 50 ribu per sesi game.
Boy menjelaskan bahwa taruhan tersebut diserahkan kepada admin yang dikenal di dunia game. “Misal taruhannya lima ribu rupiah, saya ngasih lima ribu ke admin.
Musuhnya juga ngasih lima ribu rupiah ke admin. Nanti uangnya dikasih ke pemenang sama admin, adminnya juga mendapat bagian,” tuturnya.
Beragam Bentuk Taruhan
Tak hanya uang tunai, taruhan bisa berupa e-money, poin, atau bahkan akun game. “Yang sering itu taruhan akun. Jadi kalau kalah, akunnya buat dia,” jelas Dia (bukan nama sebenarnya), seorang siswi SMP yang sering melihat fenomena ini di kalangan teman-temannya.
Jo, siswa lainnya, menemui nilai taruhan yang lebih tinggi. Dalam sekali permainan, satu squad bisa bertaruh hingga puluhan ribu rupiah.
“Awalnya biasanya ada yang nantangin, ngajak ‘ayo, squad kamu lawan squadku.’ Kalau nolak, kayak nggak ada harga dirinya, terus akhirnya taruhan,” ujarnya. Satu squad bisa bertaruh Rp 20 ribu per orang dan pemenangnya membawa pulang Rp 40 ribu.
Bahaya Taruhan Kecil yang Menjalar
Meskipun sulit terdeteksi, ada guru yang mengendus praktik taruhan ini. “Kemarin sempat ada seperti itu. Anak-anak main game, pakai uang. Tapi nggak banyak, hanya seribu sampai dua ribu. Tapi setiap hari,” ujar Fajar Setiorini, seorang guru SD.
Ia menentang aktivitas ini meskipun nominalnya kecil, karena anak-anak cenderung bermain berkali-kali, yang akhirnya bisa kalah hingga Rp 15 ribu sehari.
Fajar mencoba pendekatan yang lebih edukatif dengan mengajak ngobrol siswa yang terlibat. “Saya pura-pura tanya, seperti ini mainnya gimana. Terus saya pancing dengan pertanyaan, ini kalaupun menang juga apa untungnya? Dapat apa?” Dari interaksi tersebut, siswa mengakui bahwa pemenang bisa mendapat sejumlah uang dari taruhan.
Untuk mengalihkan kebiasaan buruk ini, Fajar mengubah taruhan uang menjadi hadiah jajan dari uang kas kelas. “Anak-anak bisa bermain game online tapi dijadikan kompetisi. Yang menang bisa dapat hadiah jajan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa taruhan, meskipun kecil, tetap merusak mental anak-anak. “Akhirnya mentalnya terbiasa taruhan. Gede-nya bisa jadi ahli judi. Itu yang harus dikikis,” tandasnya.
Peran Orang Tua dalam Pengawasan
Ulfa Roikhana, seorang tenaga pendidik dan ibu, juga menekankan pentingnya pengawasan orang tua terhadap anak yang bermain game online.
“Pengawasan dari orang tua itu mutlak. Apalagi perkembangan teknologi sekarang itu seperti pisau bermata dua. Kita mau percaya 100 persen ke anak juga keliru,” katanya.
Menurut Ulfa, orang tua tidak boleh gaptek (gagap teknologi) dan harus mengawasi akses anak terhadap gawai dan media sosial.
“Bibit perjudian itu kan dari hal yang kecil dulu. Termasuk judi online yang kerugiannya bisa sampai miliaran rupiah itu juga pasti awalnya dari kecil-kecil dulu. Dan taruhan itu juga bibit perjudian,” tandasnya.