Gerakan Tolak RUUT-PPRT: Gelombang Penolakan Menggema di Jagat Maya

Penolakan terhadap Revisi Undang-Undang TNI (RUU TNI) tengah menjadi sorotan publik. Tagar #TolakRUUTNI ramai diperbincangkan di media sosial, khususnya X (sebelumnya Twitter) dan Instagram, menunjukkan gelombang penolakan yang signifikan dari masyarakat.

Pantauan pada pukul 10.27 WIB mencatat tagar #TolakRUUTNI telah mencapai 273 ribu postingan di X. Angka ini menunjukkan skala besarnya perhatian publik terhadap RUU yang kontroversial ini. Jumlah tersebut terus bertambah seiring waktu, menandakan bertambahnya orang yang menyuarakan penolakan.

Selain di X, kampanye penolakan juga meluas ke Instagram. Berbagai template penolakan RUU TNI tersebar luas, memudahkan pengguna untuk ikut serta mengekspresikan penolakan mereka. Hal ini menunjukkan efektivitas strategi sosialisasi di media sosial dalam mengumpulkan dukungan publik.

Alasan Penolakan RUU TNI

Berbagai kalangan masyarakat, mulai dari aktivis, akademisi, hingga masyarakat umum, mengungkapkan kekhawatiran terhadap beberapa poin dalam RUU TNI. Kekhawatiran ini bervariasi, namun sebagian besar berpusat pada potensi pelemahan demokrasi dan penegakan hukum.

Kekhawatiran Terhadap Peran TNI di Luar Tugasnya

Salah satu poin yang paling sering dikritik adalah peran TNI di luar tugas pertahanan dan keamanan negara. Banyak yang khawatir RUU TNI akan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sehingga dapat memperlebar jangkauan intervensi TNI dalam aspek kehidupan sipil.

Potensi Pelanggaran HAM

Kekhawatiran lainnya berkaitan dengan potensi pelanggaran HAM. Beberapa pasal dalam RUU TNI dinilai dapat memberikan imunitas terlalu besar kepada anggota TNI, sehingga menyulitkan proses akuntabilitas dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran HAM.

Kurangnya Transparansi dalam Proses Pembahasan

Proses pembahasan RUU TNI juga dianggap kurang transparan dan partisipatif. Hal ini memicu kecurigaan bahwa RUU ini dibuat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat luas.

Langkah Selanjutnya

Gerakan #TolakRUUTNI menunjukkan betapa signifikannya peran media sosial dalam menyuarakan aspirasi publik. Ke depan, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan keprihatinan masyarakat dan melakukan kajian ulang terhadap RUU TNI dengan lebih transparan dan partisipatif.

Diharapkan proses legislasi selanjutnya akan melibatkan lebih banyak pihak, termasuk perwakilan masyarakat sipil, untuk menjamin RUU TNI sesuai dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Gerakan penolakan ini menunjukkan kewaspadaan publik terhadap potensi ancaman terhadap demokrasi dan penegakan hukum.

Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proses legislasi sangat penting untuk menjaga kualitas peraturan perundang-undangan di Indonesia. Semoga suara penolakan ini didengar dan direspon dengan bijak oleh pemerintah.

Exit mobile version