Ekbis  

Bonus Hari Raya Minim, Asosiasi Ojol Desak Kenaikan Insentif

Asosiasi pengemudi ojek online (ojol) di Indonesia tengah memprotes besaran Bonus Hari Raya (BHR) yang mereka terima. Banyak pengemudi yang mengaku hanya mendapatkan BHR sebesar Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Jumlah ini jauh dari harapan dan ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Ketua Umum Asosiasi Ojol Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyatakan bahwa pembayaran BHR tidak sesuai dengan Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan. SE tersebut mengatur BHR sebesar 20 persen dari rata-rata pendapatan bulanan dalam satu tahun. Laporan dari para anggotanya menunjukkan angka yang diterima jauh lebih rendah dari ketentuan tersebut. “Sebagian besar kawan-kawan ojol sudah menerima BHR senilai Rp.50-100 ribu, nilai yang tidak sesuai dengan SE Menaker mengenai BHR senilai 20 persen dari pendapatan (rata-rata bulanan) dalam satu tahun,” ungkap Igun.

Igun juga menyoroti ketidakadilan dalam penentuan besaran BHR. Ada pengemudi yang telah bekerja selama 5 tahun, namun hanya menerima Rp 50.000. Sementara itu, hanya segelintir pengemudi yang menerima BHR hingga Rp 900.000, yang diduga hanya diberikan kepada pengemudi binaan aplikasi. “Rata-rata nilai BHR yang diterima ojol sebagian besar Rp 50 ribu, banyak dari rekan-rekan ojol yang sudah menjadi ojol di satu platform aplikator ojol lebih dari 5 tahun namun tetap saja hanya terima Rp.50 ribu dan hanya segelintir ojol terima Rp 900 ribu yang infonya hanya ojol binaan saja,” tegasnya.

Kriteria BHR yang Tidak Transparan

Meskipun SE Menteri Ketenagakerjaan telah menetapkan persentase BHR, syarat dan kriteria penerapannya diatur oleh masing-masing aplikator ojol. Kurangnya transparansi dalam hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pengemudi. Kriteria yang tidak jelas dan cenderung diskriminatif ini menjadi salah satu pokok permasalahan yang dihadapi para pengemudi ojol.

Ketidakjelasan ini membuat pengemudi merasa dirugikan. Mereka merasa haknya tidak dipenuhi sesuai dengan kontribusi dan masa kerja mereka. Hal ini menciptakan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan di antara pengemudi ojol terhadap aplikator.

Dampak BHR yang Minim terhadap Penghasilan Pengemudi

Ketua Umum Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, mengungkapkan temuan serupa. Banyak anggota asosiasi yang hanya menerima BHR sebesar Rp 50.000. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat rata-rata pendapatan setahun pengemudi ojol bisa mencapai Rp 33 juta, atau sekitar Rp 2,75 juta per bulan.

“Dari pengaduan yang kami terima, seorang pengemudi ojol hanya mendapatkan bonus hari raya sebesar Rp 50 ribu dari pendapatannya selama 12 bulan sebesar Rp 33 juta,” jelas Lily. Perbandingan ini menunjukkan betapa kecilnya BHR yang diterima dibandingkan dengan penghasilan tahunan mereka. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya apresiasi yang diberikan oleh aplikator terhadap pengemudi ojol.

Pertimbangan Keberlanjutan Bisnis dan Keseimbangan

Akhmad Akbar Susamto, pakar ekonomi dari Universitas Gadah Mada (UGM), menekankan pentingnya keseimbangan dalam pemberian BHR. Pemberian BHR merupakan langkah positif, tetapi harus mempertimbangkan keberlanjutan bisnis jangka panjang perusahaan aplikasi.

Akhmad menambahkan bahwa perusahaan aplikasi harus menjaga keseimbangan antara memberikan apresiasi kepada mitra dan stabilitas keuangan perusahaan. “Perusahaan aplikasi harus mampu menjaga keseimbangan antara memberikan apresiasi kepada mitra dan menjaga stabilitas keuangan perusahaan. Dalam perspektif ekonomi, tambahan beban biaya yang tidak direncanakan dapat mempengaruhi efisiensi dan keberlanjutan usaha,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa meskipun Presiden telah memberikan imbauan, keputusan akhir tetap berada di tangan masing-masing perusahaan. Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara pemerintah, perusahaan, dan pengemudi ojol sangat penting untuk menemukan solusi terbaik bagi semua pihak. Transparansi dan keadilan dalam penentuan BHR harus menjadi prioritas utama.

Kesimpulannya, permasalahan BHR yang diterima oleh pengemudi ojol menunjukkan kebutuhan akan regulasi yang lebih kuat dan transparan. Selain itu, komunikasi yang efektif antara semua pihak sangat diperlukan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.

Exit mobile version