Kenaikan harga cabai di awal Ramadhan 2025 bukanlah hal baru. Ini menjadi pola tahunan yang seharusnya bisa diantisipasi dengan kebijakan pangan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan. Musim hujan, yang terjadi setiap tahunnya, seharusnya bukan alasan pemerintah bersikap terkejut dan lengah.
Pemerintah masih beralasan dengan faktor cuaca. Benar, musim hujan menghambat produksi cabai, komoditas yang mudah rusak. Namun, penggunaan alasan yang sama setiap tahun menunjukkan kegagalan memahami kompleksitas sistem pangan dan kelalaian dalam membangun ketahanan pangan nasional.
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, menyatakan curah hujan tinggi mengganggu distribusi cabai, menyebabkan harga melonjak hingga Rp100.000 per kilogram. Ia mengklaim harga sebelumnya bahkan lebih tinggi, mencapai Rp200.000 per kilogram, namun telah turun menjadi Rp100.000 per kilogram. Amran meminta pihak terkait memperhatikan distribusi untuk menstabilkan harga.
Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, juga menyatakan hal serupa. Ia terkejut melihat harga cabai yang mencapai lebih dari Rp100.000 per kilogram saat mengunjungi Pasar Johar Baru. Ia mengaitkan kenaikan harga dengan curah hujan tinggi yang menghambat panen raya, dan menjamin harga akan turun jika musim hujan berakhir.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menyatakan harga pangan relatif stabil kecuali cabai rawit merah yang mencapai Rp81.700 per kilogram. Ia telah berkomunikasi dengan pusat produksi cabai di berbagai daerah untuk memonitor situasi dan menyebut curah hujan sebagai penyebab utama kenaikan harga karena berkurangnya pasokan.
Masalah ini bukan hanya soal cuaca atau pasokan. Ada persoalan mendasar dalam tata kelola rantai pasok cabai yang belum terselesaikan. Sebagai salah satu produsen cabai terbesar di Asia Tenggara, seharusnya Indonesia tidak mengalami lonjakan harga yang ekstrem hanya karena faktor musiman.
Gangguan cuaca dan hama memang memengaruhi produksi di beberapa wilayah sentra seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatra Utara. Namun, pemerintah seharusnya mampu mengantisipasi hal ini dengan kebijakan yang lebih cermat. Solusi yang diberikan seringkali tidak tepat sasaran dan terkesan mengada-ada.
Anjuran menanam cabai di pekarangan rumah, misalnya, bukanlah solusi untuk lonjakan harga di tingkat nasional. Itu bukanlah tanggung jawab masyarakat, melainkan pemerintah yang seharusnya membuat kebijakan yang berpihak kepada petani dan konsumen.
Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, menilai lonjakan harga cabai musiman ini sudah dapat diprediksi. Ia mengkritik solusi pemerintah yang dinilai konyol, dan menyarankan inovasi pengawetan cabai seperti pengeringan, yang telah diterapkan di beberapa negara.
Namun, budidaya cabai di Indonesia masih berskala kecil, sehingga penerapan teknologi pengeringan belum ekonomis. Selain itu, masyarakat Indonesia lebih menyukai cabai segar dibandingkan olahannya seperti bubuk cabai.
Ahli pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, mengakui pengaruh cuaca terhadap produksi cabai. Ia menyarankan penggunaan rumah kaca untuk jangka panjang agar produksi tidak terganggu hujan, meskipun membutuhkan modal yang besar.
Khudori juga mengusulkan pembangunan gudang pendingin untuk menyimpan cabai saat panen melimpah, serta edukasi kepada konsumen agar beralih ke konsumsi cabai olahan. Pemerintah perlu intervensi karena hal ini membutuhkan modal yang cukup besar.
Pemerintah seharusnya memperkuat sistem penyimpanan atau *buffer stock* untuk komoditas mudah rusak seperti cabai. Pengembangan teknologi pengeringan dan penyimpanan dingin juga penting untuk menstabilkan pasokan. Ketergantungan pada wilayah produksi tertentu juga memperparah situasi.
Pegiat ACCI Kabupaten Banjarnegara, Teguh Suprapto, optimistis harga cabai akan turun dan stabil saat Lebaran. Ia mengakui kenaikan harga di awal Ramadhan, terutama cabai rawit merah, namun harga telah turun drastis.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menyatakan pemerintah berupaya menjaga harga pangan pokok sesuai HET dan HAP. Ia menilai kenaikan harga cabai dipengaruhi oleh ketergantungan pada cuaca dan faktor alam, serta berharap penggunaan teknologi seperti *greenhouse* dapat membantu petani.
Kesimpulan
Lonjakan harga cabai yang terjadi secara periodik menunjukkan kelemahan dalam sistem ketahanan pangan nasional. Pemerintah perlu meningkatkan kemampuan antisipasi, bukan hanya bergantung pada solusi jangka pendek dan menyalahkan faktor cuaca. Kebijakan yang komprehensif, meliputi peningkatan teknologi pertanian, diversifikasi produksi, pengembangan sistem penyimpanan, dan edukasi konsumen, sangat krusial untuk mengatasi masalah ini secara berkelanjutan.