Jejak Pelestarian: Kisah Sukses Penangkaran Penyu Pangumbahan Sukabumi

Sebuah patung penyu di Alun-alun Gadobangkong, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Patung yang menjadi bagian dari kompleks alun-alun senilai 15,6 miliar rupiah ini ternyata terbuat dari kardus dan bambu. Hal ini menimbulkan kontroversi dan pertanyaan publik mengenai penggunaan anggaran.

Awalnya, banyak warganet mengira seluruh anggaran tersebut dialokasikan hanya untuk pembuatan patung. Namun, Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman Jawa Barat, Indra Maha, telah memberikan klarifikasi. Beliau menjelaskan bahwa dana 15,6 miliar rupiah tersebut digunakan untuk pembangunan seluruh kompleks alun-alun, termasuk selfie deck, leuit (lumbung padi tradisional Sunda), dan gedung kuliner. Patung penyu hanyalah sebagian kecil dari proyek tersebut.

Pemilihan penyu hijau (chelonia mydas) sebagai ikon patung bukan tanpa alasan. Penyu hijau memang menjadi salah satu ciri khas Kabupaten Sukabumi, terutama karena keberadaannya di Pantai Pangumbahan, Ujung Genteng, yang terkenal sebagai salah satu lokasi penangkaran penyu hijau.

Keunikan Pantai Pangumbahan terletak pada statusnya sebagai satu-satunya tempat penangkaran penyu hijau di antara puluhan gugusan pantai selatan Jawa Barat. Hal ini semakin diperkuat dengan pengakuan UNESCO yang menetapkan Balai Penangkaran Penyu Ujung Genteng sebagai bagian dari Ciletuh Pelabuhanratu Global Geopark (CPUGGp), sebuah bukti pentingnya biodiversitas di wilayah tersebut.

Meskipun demikian, populasi penyu di Pantai Pangumbahan menghadapi ancaman serius. Perburuan liar untuk mengambil karapas dan plastron (cangkang atas dan bawah) untuk hiasan, serta kepercayaan masyarakat akan khasiat telur penyu sebagai obat, masih menjadi masalah utama yang menyebabkan penurunan populasi penyu.

Gambar patung penyu yang rusak di Pelabuhanratu semakin memperkuat keprihatinan akan pengelolaan proyek ini. Pemilihan material yang tidak tepat dan kurangnya pengawasan konstruksi patut menjadi evaluasi serius bagi pemerintah daerah.

Sejarah Konservasi Penyu di Pangumbahan

Konservasi penyu di Pangumbahan ternyata memiliki sejarah panjang, bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Menurut keterangan Musonip, seorang karyawan konservasi penyu di Kampung Jaringao, Belanda telah mengetahui keberadaan penyu hijau di Pangumbahan sejak masa penjajahan mereka di Pajampangan.

Mereka menemukan Pangumbahan setelah singgah di Desa Ciwaru, Kecamatan Ciemas, dan kagum melihat banyaknya penyu di pantai tersebut. VOC, sebagai kongsi dagang Belanda saat itu, memanfaatkan wilayah ini untuk perkebunan dan membangun dermaga Bagalbatre. Menariknya, Belanda bahkan menunjuk seorang kuncen yang dikenal sebagai “Mama Usa” untuk menjaga kelestarian penyu.

Mama Usa menerapkan kebijakan pelestarian, salah satunya larangan mengambil telur penyu dan memasuki hutan pada akhir tahun (Oktober-Desember) untuk melindungi proses penetasan. Konon, nama Desa Pangumbahan sendiri berasal dari kata “kumbah” (cuci), yang merujuk pada praktik Mama Usa membersihkan telur penyu agar tidak terasa pahit.

Setelah kemerdekaan Indonesia, pengelolaan penyu di Pangumbahan sempat mengalami masa vakum. Baru pada tahun 1973, sebuah perusahaan swasta mengambil alih, namun cenderung mengeksploitasi kawasan konservasi dan hanya melepaskanliarkan 30% tukik (anak penyu), sisanya diperjualbelikan.

Situasi berubah setelah Pemda Sukabumi mengeluarkan Perda No. 2/2001 yang melindungi penyu, dan kemudian dengan ditetapkannya Keputusan Mendagri No. 92/2005 menyusul Indonesia menandatangani kesepakatan IOSEA (The Indian Ocean and South East Asia), yang semakin memperkuat perlindungan penyu secara internasional. Perdagangan telur penyu kini diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda 100 juta rupiah.

Perkembangan dan Tantangan Konservasi Penyu

Pantai Pangumbahan kini menjadi destinasi wisata yang potensial, dengan peningkatan jumlah pengunjung yang signifikan dari tahun 2018 hingga 2023. Keberadaan penyu hijau menjadi daya tarik utama, dengan kegiatan pelepasan tukik menjadi atraksi wisata yang menarik.

Namun, populasi penyu tetap menghadapi ancaman. Laporan penelitian menunjukkan penurunan jumlah sarang penyu. Upaya konservasi terus dilakukan, termasuk optimalisasi penangkaran, relokasi sarang, minimalisasi gangguan, dan pemantauan migrasi penyu menggunakan teknologi satelit dan tagging.

Selain penyu hijau, Pantai Pangumbahan juga menjadi habitat bagi spesies penyu lainnya, seperti penyu lekang, penyu pipih, penyu sisik, dan penyu belimbing. Namun, penyu hijau tetap menjadi fokus utama konservasi di Balai Penangkaran Ujung Genteng.

Konservasi penyu di Pangumbahan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat lokal dan wisatawan. Kesadaran akan pentingnya pelestarian dan kepatuhan terhadap peraturan yang ada sangat krusial untuk keberhasilan upaya konservasi jangka panjang. Pengembangan wisata yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan juga sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara ekonomi dan pelestarian alam.

Ke depannya, perlu ada kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, peneliti, masyarakat lokal, dan pihak swasta untuk memastikan keberlanjutan konservasi penyu di Pantai Pangumbahan. Transparansi dalam pengelolaan anggaran dan pengawasan proyek infrastruktur juga perlu ditingkatkan agar kejadian seperti patung penyu dari kardus dan bambu tidak terulang kembali.

Exit mobile version